Oleh: Abdurrahman Wahid
Setelah sekian purnama tak muncul, Rohim
Warisi datang dengan sorotan mata yang tajam. Gelak tawanya yang penuh intrik
menanggapi ucapan selamat datang. Ya, sosok lelaki absurd nan
fiktif itu masih sama seperti perjumpaan seribu hari yang
lalu.
Sehari sebelumnya, ia mengirim selarik
pesan singkat pada saya. Tak ada tanda-tanda ia bercanda dalam pesannya.
Melalui kata-kata itu ia menyampaikan hendak berkunjung ke Jogja. Namun, saat itu, saya
tetap tidak langsung percaya dengan apa yang
disampaikannya.
Mungkin tidak hanya saya, semua orang yang
pernah mengenalnya juga akan berpikir selayaknya saya. Ya, lelaki pengagum
penulis Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
itu memang sulit diterka ucapannya. Bahkan, kalau boleh jujur, ia adalah orang
yang dalam berbicara sering tidak apa adanya. Wajar, jika semua teman-temanya
menganugerahkan dia sebagai sosok yang fiktif. Apa yang ia katakan hanyalah
rangkaian yang dibuat seindah mungkin untuk membohongi orang sekitarnya.
Maaf, bukan tanpa alasan saya berkata
demikian. Terlampau banyak sudah yang bisa saya sajikan. Tapi, biarlah, toh ndak
penting membicarakan Rohim dengan serius. Ya, terlalu
berharga waktu ini jika kita gunakan untuk membicarakan dia yang dalam kesehariannya dipenuhi dengan ketidakseriusan.
Saya sengaja menuliskan pertemuan ini.
Rohim, jangan kepedean dulu ya,
jangan berpikir bahwa dirimu adalah orang penting. Melalui tulisan ini, saya
hanya ingin menyampaikan bahwa dirimu tidak banyak berubah. Dirimu masih
seperti dulu. Semoga saja istirmu tidak seperti saya dalam memahamimu.
Bagaimanapun, dia adalah orang yang ikhlas karena sudah mau menjadi makmum dari
lelaki absurd macam kamu.
Tapi, harus saya akui juga, seabsurd apapun dirimu, sefiktif apapun ucapanmu, saya
tetap menganggap dirimu sebagai teman yang baik sekaligus unik.
Bahkan,
dalam hal-hal tertentu, dirimu sudah saya anggap
sebagai suhu. Ya, menurut saya, dirimu layak disebut sebagai pertapa
yang memiliki pengikut tak terhitung jumlahnya.
Tentu kamu
masih ingat, jamaah semut yang pernah kau pimpin. Atau segerombolan orang yang
telah kau ajari bagaimana indahnya mem-bully orang lain, eh. Mungkin sekarang, dirimu sudah punya jamaah baru dalam
duniamu. Kabarnya, dirimu sudah terlibat dalam pertempuran klan-klan. Sebagai
teman, saya berharap dirimu menjadi energi positif di klan barumu itu.
Beberapa Obrolan Itu
Meski tidak
lama, kunjungan Rohim ke Jogja telah membekas dan tentunya masih fiktif seperti
dahulu kala. Oh iya, waktu rohim sampai, Jogja langsung diguyur hujan deras.
Him, lihat Jogja bersedih karena kamu kunjungi lagi. Terlalu banyak sudah
persolaan fiktif di kota ini, masih saja kau bebani dengan kefiktifan lama
dengan bingkai baru.
Perbincangan
awal, kita bernostalgia saat masih bersama-sama di Jogja. Mulai dari bahagia,
hingga duka yang teramat sangat. Saya masih ingat betul, saat pertama kali ke
Jogja dengan hanya berbekal bonek.
Saat itu, melalui uang pinjaman dari temannya, Rohim berusaha menjadi bos kecil
dari usaha bersama.
Dengan modal
seadanya, akhirnya kita putuskan untuk menjual gorengan. Nanti, hasilnya dibagi
dua. Dengan kegembiraan dan bayangan keuntungan yang luar biasa, saya beber
lapak gorengan itu di depan fakultas. Lalu-lalang mahasiswa saya jadikan tempat
strategis untuk menawarkan gorengan dari usaha kita. Lumayan, meski tak terjual
habis, tapi cukup banyak yang terjual.
Tapi, satu hal
yang perlu diketahui dari bisnis gorengan ini. Setelah pulang kuliah, kala sore hari, kita kumpul dan mencoba menghitung hasil dari penjualan gorengan. Terkejut,
hasil yang didapat tidak sesuai dengan gorengan yang habis terjual. Sepertinya,
teman-teman pada ramai mengambil namun lupa membayar. Karena saya yakin, mereka
tak ada niat untuk mengambil gorengan yang saya jual.
Begitu
seterusnya, entah berlanjut sampai berapa hari. Seingat saya, usaha itu tidak
sampai satu minggu. Dan kami memutuskan untuk mengakhirinya. Ya, “usaha ini
tidak cocok dengan kita,” ucapnya kala itu.
Akhirnya,
setelah gagal berbisnis gorengan. Kami putuskan untuk menjadi marbot di masjid.
Tidak banyak alasan penting kenapa harus berdiam di masjid, kecuali untuk
mendapat fasilitas gubuk gratis dan seperengkat lainnya. Setidaknya, di Jogja
kami tidak tidur di pinggir jalan. Begitulah kira-kira.
Permasalahan
hidup di Jogja, sedikit telah teratasi. Meski harus menempuh jarak 53 menit
jalan kaki untuk sampai ke kampus, setidaknya ada tempat tinggal untuk sekadar
melepas setiap keletihan. Singkat cerita, kira-kira sekitar sembilan bulan, kami kemudian memutuskan keluar dan menghadapi kehidupan yang tak kalah
getirnya.
Jika mengingat
kejadian bersejarah ini, tentu saja Rohim adalah suhu. Sebagaimana saya sebut
di atas, dalam hal-hal tertentu.
Selepas
membincangkan kisah masa lalu, saya tawarkan dia untuk berbaring di gubuk
sederhana. Dengan gayanya, dia menolak. "Saya itu sewa hotel, dan sudah
saya bayar." Saya rasa, semua sudah tahu bagaimana mimik Rohim kala
memgucapkan kalimat semacam itu. Duh, Him, kamu memang tidak banyak berubah.
Oh, iya,
sepanjang perjalanan kita mencari tempat makan, Garnasih menjadi tema obrolan
utama. Banyak hal yang ia ceritakan tentang sosok aktivis perempuan tersebut.
Dan, saya rasa, tidak perlu disampaikan apa yang kami bicarakan. Tak elok, dan
sungguh akan mengundang ketegangan sosial sekitar.
Em, apalagi
yang ia bicarakan persoalan cerita yang ia buat sendiri. Sebuah kejadian, entah
nyata atau tidak, tentang Garnasih dan rupa warna kehidupannya. Begitulah, ia bercerita. Bahkan cerita itu berlanjut sampai malam hari,
saat kami memutuskan untuk bertemu di warung kopi.
Selebihnya, ia
bicara tentang bisnis yang hari ini digeluti. Tidak tanggung-tanggung, layaknya
para pakar, ia sudah berbicara jauh ke depan, tentang puluhan tahun yang akan datang.
Dengan bisnis barunya itu, ia sudah membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan sejauh pengamatan singkat saya, ia akan menjadi penguasa
di daerahnya. Khususnya, di usaha yang
tengah dikelolanya. Selamat, Him. Semoga ini menjadi langkah awal kesuksesanmu
di masa depan.
Sumber gambar: Marie and Allstair knock