Wednesday, November 11, 2015

Sejarah Ponpes Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang


Profil KH Yahya Syabrawi 

KH Yahya Syabrawi lahir pada tahun 1907 di desa Tattat Sampang Madura. Ibu beliau Nyai Latifah putri KH Isma’il (Ombul Sampang Madura), ayahnya bernama KH Syabrawi (Sampang). Pengalaman pendidikan beliau dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: 

1) Yahya kecil mulai menempa ilmu dasar-dasar agama dengan belajar kepada orang tuanya sendiri, KH Syabrawi. 

2) Kemudian menginjak dewasa, beliau nyantri kepada kiai Makki Sampang selama delapan tahun. Di pondok pesantren ini, Yahya muda diperintahkan oleh kiainya untuk membantu mengajar, karena dipandang punya prestasi lebih dibanding santri yang lainnya. 

3) Kemudian, beliau melanjutkan rihlah ilmiahnya (perjalanan keilmuan) ke pondok pesantren Panji Sidoarjo Surabaya yang disuh oleh KH Khozin. 

Pada tahun 1937, beliau mengikuti pamannya yang berada di desa Ganjaran. Sewaktu berada di tempat ini, akhirnya beliau dikawinkan oleh KH Bukhori Isma’il dengan putrinya yang tidak lain adalah saudara sepupu sendiri. Tetapi, meski sudah menempuh hidup baru keinginan untuk terus memburu ilmu masih tetap membara dalam hatinya.  Hal ini terbukti, beliau masih sering mengikuti pengajian kilatan di bulan puasa kepada gurunya di Sidoarjo. “Itulah kesemangatan kiai Yahya dalam hal ilmu. Ya begitu, beliau membawa kopi, gula dan segala macam keperluan sehari-hari di pondok,” demikian cerita H Ali Rohmat, salah satu menantu KH Zainulloh Bukhori dari Karang Ploso Batu.

Keluarga yang dibina kiai Yahya boleh dianggap sebagai keluarga besar, karena sebagaimana lazimnya orang dahulu, kiai Yahya memiliki putra-putri lebih dari sepuluh orang. Daftar nama di bawah ini menggambarkan putra beliau:
PUTRA-PUTRI KH YAHYA SYABRAWI

NO
Nama
Hari
Tahun
Keterangan
01
Khozin
Kamis
1939
Lahir
1999
Wafat
02
Rosyidah


Wafat pada umur 9 tahun
03
Asyiyah
Ahad
1943
Lahir

Wafat
04
Munighoh
Kamis
1946
Lahir

Wafat tanpa keterangan
05
Ahmad Hariri
Kamis
1948
Lahir
06
Hamimah
Kamis
1953
Lahir
07
M. Sa’id


Kembar, satunya wafat keguguran
08
M. Syakur
Sabtu
1955
Lahir

Wafat tanpa keterangan
09
Mahmudah
Rabu
1958
Lahir

Wafat tanpa keterangan
10
Qosidah
Senin
1959
Lahir
1965
Wafat
11
Ghoniyah
Ahad
1960
Lahir
12
Khosyi’ah
Rabu
1963
Lahir
13
Jazilah
Ahad
1963
Lahir

Wafat pada waktu kecil
14
Mukhlis
Kamis
1966
Lahir
15
M. Madarik
Senin
1972
Lahir
Setelah kurang lebih sepuluh tahun beliau mukim di desa Ganjaran, beliau mulai merintis madrasah Miftahusyibyan yang kelak kemudian hari bernama Raudlatul Ulum. “Perubahan nama itu atas istikharah KH Khozin. Ya putra kiai Yahya sendiri,” kata kiai Romli dari Madura. Lembaga sekolah yang dibuka oleh kiai Yahya itu atas perintah kiai Bukhori Ismail dengan bantuan para tokoh masyarakat kala itu, diantaranya KH As’ad (pendiri pesantren Miftahul Ulum), KH Qoffal Muhammad (mertua KH Qoffal Syabrawi), Hafidz Abdurrozak (seorang alumni Gontor), Bapak Dumyati dari Jombang.

Pada awalnya pelaksanaan kegiatan pendidikan diadakan di rumah penduduk dan rumah ibadah. Diantara lokasi yang dijadikan tempat proses pembelajaran itu adalah rumah Nyai Zakariya dan musholla KH Ahmad Hambali. Tetapi berkat kegigihan para kiai tersebut dalam memperjuangkan munculnya sebuah pendidikan di desa yang dikenal sebagai salah satu tempat penghasil tebu terbaik itu, akhirnya Kepala Desa H Abdurrahman ketika itu turun tangan mengupayakan tanah waqof untuk lahan gedung madrasah.

Pada masa awal, pendidikan di madrasah ini menggunakan metode ala salaf. Bahkan kebiasaan siswa dalam belajar juga masih berperilaku santri kuno seperti, sarung dan bakiak. Tetapi karena perkembangan zaman, kiai Yahya dengan dibantu oleh beberapa tokoh lainnya, antara lain Drs KH Mursyid Alifi (menantunya), kemudian berinisiatif mengembangkan pengetahuan dalam madrasah dengan memasukkan kurikulum dari pemerintah. Semenjak itulah madrasah Raudlatul Ulum semakin pesat perkembangannya dan diminati masyarakat, karena dinilai masyarakat RU merupakan lembaga pendidikan yang mampu menempatkan diri di ruang dan waktu sesuai tuntutan perkembangan zaman. Selanjutnya, pada tahun 1985 kiai Yahya bersama KH Utsman Mansoer, salah satu pendiri Unisma Malang, membuka Fakultas Syari’ah Unisma di desa Putat Lor. Fakultas yang kini menjadi STAI Al-Qolam itu dimaksudkan untuk menjadi jenjang lanjutan bagi aliyah rintisannya dan madrsah aliyah yang lain.

Di samping merintis sebuah sekolah, pada tahun 1949 kiai yang wafat di RSI Gondanglegi itu juga mendirikan pondok pesantren Raudlatul Ulum. Kemudian KH Yahya Syabrawi bersama istri, Ny Hj Mamnunah pindah dari rumah mertuanya, KH Bukhori Ismail, untuk mendirikan pondok pesantren. Di tempat  tinggal barunya yang terletak sebelah selatan dari rumah mertuanya itu, KH Yahya menampung para santri yang belajar di madrasah untuk diberikan pendalaman ilmu-ilmu yang sudah didapat di madrasah secara lebih intensif lagi. Akhirnya KH Yahya Syabrawi dengan dibantu masyarakat sekitar mendirikan sebuah asrama atau pemukiman para santri, yang kemudian hari lebih dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, atau disingkat dengan sebutan PPRU I.

Pada awal berdirinya Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I hanya memiliki sepuluh orang santri yang menempati asrama sederhana yang terbuat dari bambu dan kayu dengan atap daun tebu. Kesepuluh orang itu antara lain adalah Ahmad Hambali, Ismail (H Mahmudi), Sukri (H Jumaidi) dan Kurdi. Namun sejalan dengan perputaran masa, grafik santri terus menanjak, hingga pada tahun 1969-1970 jumlah santri mencapai 240 orang.

Di lingkungan pondok pesantren ini kiai Yahya membina para santrinya dengan berbagai pengajian kitab kuning. Sebagaimana pesantren salaf lain, salah satu kiai yang ikut memprakarsai berdirinya RSI Gondanglegi itu menjadikan kitab tafsir Jalalain, kitab hadits Riyadhussholihin dan kitab nahwu-shorof Ibnu Aqiel sebagai kitab bacaan rutin yang terus diulang tatkala sudah khatam. Ketiga kitab klasik ini dibaca usai sholat Maghrib hingga menjelang Isya’. Sehabis sholat Dhuhur, beliau membaca al-Iqna’ dan ditambah kitab kecil lainnya dengan metode sorogan.

Perhatian beliau terhadap kegiatan belajar para santri sangat besar sekali, terutama masalah sekolah ke madrasah. Hal ini tampak pada “kloning besi” yang berada di samping kamar beliau selalu ditabuh tatkala jarum jam menunjukkan pukul 07:00 wib. Setelah itu, beliau mengontrol keberangkatan para santri, hingga kadang ke kamar-kamar mereka. “Waduh, kalau beliau sudah mengontrol ke kamar-kamar teman-teman morat-marit berhamburan. Bahkan, ada yang melompat dari lantai atas, padahal ia sedang sakit. Saking takutnya,” ungkap kiai Mastuki, salah satu santri asal Pagedangan Sumber Manjing.

Satu hal lain yang menjadi perhatian serius dari kiai Yahya ialah masalah sopan santun santri terutama begaimana sikap mereka kepada kedua orang tuanya. Hal pertama menyangkut kesopanan kepada kedua orang tua yang selalu ditekankan oleh beliau adalah persoalan cara bicara kepada mereka, hingga sampai beliau pernah berkata :”Tenimbeng tang santreh tak abesah ke oreng tuanah, ango’ tak abesah ke sengko’ (ketimbang santri saya tidak berbahasa halus kepada orang tuanya, lebih baik tidak usah berbahasa halus kepada saya).”

Ulama yang dikaruniai 15 putra itu dikenal oleh santri-santrinya sebagai sosok kiai yang sangat istiqomah dalam menjaga sholat berjamaah. Menurut riwayat dari salah satu alumni, beliau akan mengajak sholat anak kecil sekalipun, bila ketinggalan berjemaah. Kedisiplinan beliau ini tidak saja pada persoalan sholat berjemaah, tetapi hingga pada bangun malam beliau selalu menjaga waktu. Sudah menjadi kebiasaan, beliau bangun pada jam 1 malam untuk mengambil wudlu’. Menurut ibu Nyai Mamnunah, pada awalnya beliau bangun jam 3 malam, tapi menginjak semakin sepuh, beliau bangun sekitar jam satu. Tidak itu saja, ke-istiqomah-an beliau tampak pada hampir semua doa harian sebagaimana tuntunan dalam kitab. Mulai dari doa mau tidur, bangun tidur, masuk kamar kecil, doa setelah wudlu’, hingga doa naik kendaraan beliau baca. Bahkan jika turun hujan pertama dari musim kemarau, beliau mandi berhujan-hujan sebagaimana disunnahkan.

Oleh karena istiqomah inilah, maka tidak heran dalam pandangan para alumni, kiai yang memanggil istrinya dengan sebutan “Kho” ini kadang memiliki penglihatan basyiroh (mata hati). Pernah suatu hari, menurut cerita Ustadz Isma’il Fathulloh dari Boro, Ustadz berperawakan kurus ini berniat membeli tv untuk keluarganya. Sesampainya di gerbang timur pesantren, kiai Yahya memanggil dan memegang pundaknya sambil berkata; ”Kalau mau jadi anakku, jangan beli tv!” Padahal ia belum mengucapkan sepatah katapun.

Lain lagi cerita kiai Romli dari Madura. Ia pernah disuruh oleh kiai Yahya meminta uang kepada Kepala Desa. Sambil berjalan menuju gerbang pesantren sebelah selatan, santri gemuk ini bergumam dalam hati, “katanya uang negara haram. Tapi saya disuruh minta.” Spontan kiai Yahya memanggilnya, ”Heh, itu bukan uang negara. Itu uang tebuku yang ada di bapak Kepala Desa !” hardik beliau dengan keras.

Beliau wafat hari Jumat 27 November 1987, jam 18: 30 WIB. Semoga ilmu dan istiqomahnya tetap mengalir pada santri-santrinya. Amin. 

Sumber: Diolah dari berbagai sumber 

Profil Ponpes Raudlatul Ulum I. 
Lembaga pendidikan ini bernama Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, selanjutnya disingkat PPRU I, merupakan pesantren yang didirikan di desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang pada tahun 1949 M/1368 H., oleh KH. Yahya Syabrawi. Pondok Pesantren ini berkedudukan di Jalan Sumber Ilmu nomor 127 Desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang.

Pondok Pesantren ini beraqidah Islamiyah ‘ala Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan berazaskan al-Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas serta bersifat kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan.

Pondok pesantren ini berfungsi:
1. Sebagai wadah menuntut ilmu pengetahuan untuk melanjutkan nilai-nilai perjuangan agama, bangsa dan negara.

2. Sebagai tempat kaderisasi putra dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk kelangsungan syari’at Islam dimuka bumi.

3. Sebagai wadah penghimpun putra Islam dalam upaya memperkokoh ukhuwah basyariyah, ukhwah islamiyah dan ukhwah wathoniyah.

Pondok Pesantren ini bertujuan:
1. Membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT., berilmu, berakhlaqul karimah, berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham “aswaja” dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD. 1945.

2. Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan pendidikan jasmani dan rohani, mental dan kepribadian yang luhur.

3. Menanamkan panca jiwa santri yang luhur yaitu: (aKeikhlasan dan kesadaran.(b) Kesederhanaan.(c) Kemandirian. (d) Persatuan dan kesatuan. (e) Penegakan amar ma’ruf nahi mungkar.



Untuk mencapai tujuannya Pondok Pesantren ini berusaha:

1.  Membina dan meningkatkan kedisiplinan serta kesadaran Santri dalam melaksanakan segala hak dan tanggung jawab sebagai pribadi dan anggota santri dalam rangka pengembangan pengamalan syari’at Islam ahlussunnah wal jama’ah.



2.  Mengembangkan sumberdaya santri melalui pendekatan keagamaan, keilmuan serta keterampilan sebagai wujud partisipasi dalam menunjang program pesantren.



3.  Mengupayakan tercapainya tujuan Pondok Pesantren dengan menyusun landasan program perjuangan relevansi dengan perkembanagn masyarakat.



4.  Mengupayakan jalinan komunikasi dengan pihak luar selama hal tersebut tidak merugikan dan tidak bertentangan AD/ART.



Lambang Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I:
Makna lambang adalah:

1.      Lambang Pondok Pesantren “Raudlatul Ulum” I berbentuk segi lima yang berarti rukun Islam dan dasar Negara Pancasila



2.      Warna dasar hijau, dan dua garis berwarna hitam pada bagian luar menggambarkan nurani yang sejuk mendamaikan di dalam bingkai rukun iman, Islam dan nilai-nilai Pancasila.



3.      Dibagian atas tercantum tulisan Pondok Pesantren “Raudlatul Ulum” pada helai pita berwarna putih menunjukkan seluruh dimensi kehidupan selalu dipayungi oleh berkah guru dan mencerminkan keberlangsungan hubungan kekeluargaan sepanjang masa.



4.      Dibawahnya terdapat bintang sembilan setengah melingkar sejajar yang paling atas lebih besar dari yang lain, dan semuanya berwarna kuning memperlihatkan arti Nabi Muhammad, para khulafa’urrosyidin dan empat madzhab fiqh, atau bermakna pengakuan dan penghormatan kepada wali songo di bumi nusantara.



5.      Lurus dibawah bintang paling kanan terdapat menara masjid berwarna putih berarti kehidupan harus berpusat pada semangat eksistensi masjid.



6.      Disebelah kiri menara masjid terdapat gambar ka’bah berwarna hitam bermakna seluruh aspek kehidupan menyatu dalam kiblat iman, islam dan ihsan sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.



7.      Seperempat bumi diatas sayap burung dengan warna dasar biru dan garis bumi berwarna hitam menunjukkan orientasi nilai-nilai ajaran guru diaplikasikan secara membumi.



8.      Burung dara (merpati) sedang mengepakkan sayapnya berwarna putih dan moncong yang sedang menghadap kepada wadah tinta yang berwarna hitam berarti semangat belajar tanpa henti dan terus menerus menyebarkan misi dakwah dan keilmuan.



9.      Di bawah sayap bagian kanan terdapat lambang buku terbuka, dan pada bagian kiri terdapat gambar tumpukan buku, yang semuanya berwarna hitam bermakna Al-Qur’an dan hadits sebagai dasar keilmuan dan sikap yang dikembangkan atau berarti semua cara berfikir, dan berperilaku dilandaskan kepada validitas referensial yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.



10.  Dibawah tinta terdapat hurup “PPRU I” dengan titik diataranya berwarna hitam menegaskan singkatan nama dan urutan dari sekian Pondok Pesantren Raudlatul Ulum.



11.  Pada bagian paling bawah tercantum tulisan “GANJARAN GONDANGLEGI MALANG” menandaskan lokasi PPRU I secara geografis.



TATA TERTIB/UNDANG-UNDANG

PONDOK PESANTREN “RAUDLATUL ULUM I”

GANJARAN GONDANGLEGI MALANG

Bab I

Kewajiban Umum

Pasal 1

1.      Semua santri wajib menjaga nama baik Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I.

2.      Semua santri wajib taat dan disiplin terhadap Undang-undang Pondok.

3.      Semua santri wajib menjalin persatuan dan kesatuan Pondok.

4.      Semua santri wajib berakhlak karimah.

5.      Semua santri wajib menjaga kebersihan dan keamanan Pondok.



Bab II

Kewajiban Khusus

Pasal 2

1.      Semua santri wajib sholat berjamaah dengan wiridan sampai selesai.

2.      Semua santri wajib mengikuti musyawarah pada jam yang telah ditentukan.

3.      Semua santri wajib mengaji dan bersekolah.

4.      Semua santri wajib melaksanakan piket malam sesuai dengan ketentuan.

5.      Semua santri wajib ikut serta kerja bakti untuk memelihara kebersihan.

6.      Semua santri wajib bersopan santun, terutama kepada tamu.



Pasal 3

1.      Semua santri wajib memiliki kartu anggota dan lencana Pondok.

2.      Semua santri wajib memenuhi administrasi Pondok.

3.      Semua santri diperkenankan pulang atau bepergian, apabila mendapat surat izin resmi.

4.      Semua santri setiap keluar kompleks pesantren harus memakai lencana Pondok.  



Bab III

Larangan

Pasal 4

1.      Semua santri dilarang pergi ke pasar selain hari Jumat.

2.      Semua santri dilarang keluar kompleks Pondok sesudah jam 22:00 WIB untuk santri putra dan jam 17:00 WIB untuk santri putri sekalipun menghadiri pengajian umum terkecuali mendapat izin.

3.      Semua santri dilarang nonton TV.

4.      Semua santri dilarang berolah raga di luar waktu yang telah ditentukan.

5.      Semua santri dilarang makan di warung sekalipun indekos.

6.      Bagi santri putri dilarang menerima kiriman di luar kompleks Pondok Raudlatul Ulum I.



Pasal 5

1.      Semua santri dilarang keras berbuat mungkarot seperti ghosab, mencuri atau melihat tontonan.

2.      Semua santri dilarang keras mengadakan hubungan putra-putri yang bukan mahram.



Bab IV

Sanksi

Pasal 6

1.      Setiap pelanggaran Tata Tertib dikenai sanksi selaras dengan pelanggarannya, berupa peringatan, hukuman, skorsing, pemecatan dan pengusiran.



Bab V

Lain-lain

Pasal 7

1.      Hal-hal yang belum diatur dalam Tata Tertib atau Undang-undang ini akan ditetapkan melalui peraturan khusus.



Demikian Undang-undang PPRU I, harap ditaati dan diperhatikan.



Pengasuh PPRU I,                                                      Pengurus PPRU I,

KH Yahya Syabrawi                                                   Drs. H.A. Mursyid Alifi





Keanggotaan Pondok Pesantren ini meliputi:

Setiap orang yang beragama Islam yang menetap dan/atau belajar di Pondok Pesantren ini, keberadaannya direstui oleh pengasuh dan menyetujui terhadap AD/ART Pondok Pesantren dan/atau peraturan dapat diterima menjadi anggota sah



Struktur organisasi secara hirarkis yang ada dilingkungan Pondok Pesantren ini terdiri dari:

1.  Pembina

2.  Pengasuh Utama

3.  Dewan Pengasuh

4.  Pengurus Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi

5.  Pengurus Pesantren

Kelengkapan struktur kepengurusan pesantren dan tata tertib diatur di dalam AD/ART dan/atau instruksi Pengasuh/Dewan Pengasuh, kesepakatan, atau peraturan Pengurus.



Sikap Politik 
Sebagai bagian dari masyarakat, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I tidak akan lepas dari kehidupan kemasyarakatan, termasuk masalah politik. Sikap yang diambil oleh  pengasuh PPRUI berkaitan dengan persoalan politik beragam dari masa ke masa. Keragaman ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan kondisi yang memunculkan untung-rugi (mashlah wa mafsadah) terhadap kelembagaan, keagamaan dan keorganisasian. Organisasi yang dimaksud adalah organisasi kemasyarakatan, NU, yang menjadi kumpulan induk hampir semua pesantren, termasuk  PPRU I.

Oleh karena itulah, pada zaman KH Yahya Syabrawi, PPRUI dengan tegas  mendukung PPP yang kala itu menjadi representasi partai politik bagi umat Islam, terutama warga NU. Tetapi ketika kran politik bangsa mulai terbuka ditandai dengan era reformasi pada tahun 1998, pada awalnya KH Khozin Yahya mengarahkan dukungannya kepada PKB, karena partai ini dinilai dibidani oleh para tokoh NU. Setelah keberpihakan kepada politik dianggap kurang menguntungkan terhadap eksistensi pendidikan PPRU I, dan harmonisasi hubungan keluarga, dan alumni, serta atas pertimbangan beberapa anggota keluarga PPRU I, maka sosok pengganti kiai Yahya itu bersama Dewan Pengasuh lainnya memilih posisi netral dengan mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda-tangani oleh Pengasuh Utama dan Dewan Pengasuh. Tetapi netralitas yang dipilih itu dilakukan secara kelembagaan, oleh karena itulah keputusan tersebut bukan berarti memberangus hak berpolitik seseorang. Berdasarkan nalar ini, kegiatan-kegiatan yang bernuansa politis menjadi tetap absah jika dilakukan salah satu Dewan Pengasuh mengatasnamakan pribadi. 

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Dihimpun dan ditulis ulang oleh Muhammad Madarik pada 11 November 2015.

sumber gambar: di sini

Monday, November 2, 2015

Menapaki Jejak Keterbatasan




Oleh: Syari'ati Masyithoh

Otvai adalah Desa yang pernah saya tempati untuk mengabdikan diri selama satu tahun dalam program SM-3T angkatan IV di Kabupaten Alor, Provinsi NTT. SM-3T adalah program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan pendidikan, percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dan penyiapan pendidik profesional yang berlangsung selama satu tahun (Kemendikbud Dikti, 2014: 2).  

Di tempat terluar dari bagian NKRI itulah, saya diberikan kepercayaan untuk mendidik anak-anak PAUD Gemsana yang merupakan satu-satunya PAUD yang ada di Desa Otvai. PAUD yang sudah berdiri sejak tahun 2009 belum memiliki gedung, sehingga proses belajar mengajar dilakukan di salah satu sudut ruangan Kantor Desa. Ruangan yang sempit dengan jumlah siswa 40 anak membuat kegiatan belajar mengajar kurang kondusif. Ketika duduk saja anak-anak harus “berdempet-dempetan”, sehingga sering dijumpai anak-anak “baku marah dan baku pukul” yang artinya saling marah dan memukul karena ruang geraknya terbatas.

Pertama kali saya masuk kelas, hanya saya jumpai satu lembar karpet yang sudah lusuh, kepingan puzzle yang tidak lengkap, satu meja guru yang mulai lapuk, atap yang berlubang dan jendela kelas yang tidak bisa terbuka karena rusak. Tak dijumpai satupun buku cerita yang bisa dibaca anak-anak bahkan buku bacaan untuk guru. Anak-anak hanya datang untuk menyanyi kemudian dipulangkan kembali tanpa diberikan kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan kognitif, fisik motorik, sosial-emosional, dll.   

Tidak hanya tak memiliki gedung, sekolah itu pun tidak memiliki guru lulusan dari S1 PG PAUD. Semua guru merupakan ibu rumah tangga yang memiliki panggilan secara sukarela untuk mendidik anak-anak yang ada di Desanya. Karena sukarela dan tidak dibayar,  tak jarang mereka tidak datang untuk mengajar. Pengetahuan guru mengenai pengelolaan PAUD masih sangat minim, bahkan ketika saya tanyakan tentang kurikulum yang dipakai, mereka bingung, “kurikulum itu apa?” katanya. Jarangnya mengikuti pelatihan atau diklat mengenai PAUD membuat guru kurang memahami bagaimana menyusun silabus seperti Rencana Kegiatan Harian (RKH). Padahal menyusun Rencana Kegiatan Harian (RKH) merupakan suatu keharusan yang wajib disusun oleh seorang guru. Kegiatan di Kelas hanya menyanyi dan kurang variatif. Tidak hanya membuat anak bosan, bahkan orang tua yang menunggui anaknya pun bosan, sehingga banyak  orang tua yang lebih memilih anaknya diajak ke Kebun daripada mengantarnya ke Sekolah.

Banyak saya jumpai ketika di Sekolah ingus anak-anak memenuhi pipinya, sehingga wajahnya “kamomos” alias banyak debu yang menempel di wajah, bahkan ada yang sampai kering memenuhi hidungnya. Budaya bersih masih rendah, salah satu faktornya adalah kurangnya ketersediaan air di daerah tersebut. Untuk menuju sumber mata air saja harus berjalan kaki sejauh ± 2 km. Selain itu, sikap kasar terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua masih sering dijumpai. Bahkan mereka tidak segan-segan memukul, muncubit, bahkan mengeluarkan kata-kata kasar kepada anaknya di hadapan umum. Melihat kejadian tersebut membuat saya kaget. Seperti memahami apa kekagetan saya, salah seorang masyarakat berkata kepada saya, “Kebiasaan Orang-orang Timur memang kasar-kasar, Ibu”. Akan tetapi saya melihat kejadian tersebut sebagai salah satu bentuk kekerasan kepada anak usia dini. Karena suatu hal yang dianggap “kebiasaan” tadi membuat anak yang seharusnya dididik dengan penuh kasih sayang tidak mendapatkan haknya. Hal tersebut sangat disayangkan, karena orang tua merupakan sebuah cermin kehidupan bagi anaknya.

Ibarat pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, begitu pula dengan mendidik anak. Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki; jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri; namun jika anak dibesarkan dengan toleransi maka ia belajar menahan diri; jika anak dibesarkan dengan pujian, maka ia belajar menghargai; dan jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, maka anak belajar keadilan. Kebiasaan yang telah dilakukan secara terus menerus memang sulit untuk dihilangkan. Akan tetapi dengan diberikan arahan, contoh, pengetahuan mengenai pola asuh sedikit demi sedikit orang tua mulai memahami bagaimana mendidik anak dengan baik dan menjadi orang tua yang diidolakan anak. 

Dukungan orang tua terhadap anak untuk bersekolah secara langsung juga memengaruhi upaya guru untuk meningkatkan kualitas Sekolah. Banyak halangan dan rintangan yang harus dilewati guru agar Sekolah tetap berjalan meski minim fasilitas, sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Memanfaatkan lingkungan sekitar Sekolah sebagai sumber belajar menjadi salah satu solusinya. Bunga, daun, batu, pasir, barang-barang bekas, arang, dll. digunakan sebagai media pembelajaran. Agar anak-anak tidak bosan, saya dan guru lainnya mengajak anak-anak untuk belajar di luar kelas sehingga ruang gerak anak menjadi lebih luas. Bahkan karena tidak ada lem, kami membuat lem sendiri dari endapan parutan singkong yang direbus. Lem tersebut digunakan ketika anak-anak melakukan kegiatan menempel. Ketika ingin mewarnai namun belum memiliki krayon atau pensil warna, kunyit, daun “bonak” atau daun pandan, dan daun jati pun menjadi pilihan untuk menggantikan alat mewarnai tersebut.

Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. Mulai dari masyarakat, Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat ialah adanya program SM-3T. Banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa saya peroleh dengan mengikuti dan terlibat langsung dalam program SM-3T, satu di antaranya adalah bahwa setiap keterbatasan tidak menjadikannya sebagai penghalang kepada kita untuk berkreasi dan maju bersama mencerdaskan Indonesia.[]

Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top