Mula-mula, tulisan ini berawal dari perbincangan ringan bersama teman-teman, sambil menikmati secangkir kopi di sela-sela aktivitasnya masing-masing. Kebetulan, yang kami perbincangkan pada waktu itu adalah seputar sosial keagamaan. Singkat kata, di tengah-tengah perbincangan ada statement menarik yang keluar dari salah satu di antara kami. Kurang lebihnya seperti ini: “pada hakikatnya manusia adalah makhluk otonom yang bebas, tidak bisa diintervensi siapapun, kecuali intervensi Tuhan itu sendiri”. Melihat statement demikian, penulis sendiri tertarik untuk lebih terbuka diperbincangkan, dan mencoba diketengahkan dalam bentuk tulisan.
Walaupun pada dasarnya manusia makhluk otonom, makhluk bebas berkarya dan berkarsa dari apa yang ia ketahui, bukan berarti ia dapat mengintrepetasikan sebebas-bebasnya tanpa memandang adanya nilai-nilai atau moral etik yang berlaku di dalam agama. Dan juga bukan berarti dengan sendirinya ia bisa bebas dan lepas dari intervensi dalam selera berfikir dan bersikap. Karena bagaimana pun juga, tolak ukur selera berfikir dapat diketahui sejauh ia dapat menerima dan memahami adanya teks dan konteks dalam agama. Dan bagaimana dapat memaknai ketika budaya berbenturan dengan teks agama? Dan sebaliknya, budaya include didalamnya, sehingga seakan-akan itu bagian dari pesan agama itu sendiri.
Islam merupakan agama yang rahmatul lil ‘alamin. Agama yang secara tegas bahwa dengan kehadirannya membawa kedamaian bagi seluruh alam. Dengan artian Islam membawa cita-cita yang luhur, dengan sumber nilai-nilai yang termenifestasikan dalam bentuk kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi umat manusia, tanpa harus memandang agama, etnis, suku dan asal muasal bangsanya. Islam juga memosisikan sebagai agama yang toleran, aspiratif, serta membuka pintu lebar-lebar (inklusifisme) bagi siapa pun yang berkeinginan mengenal Islam yang rahmah ini. Dalam kontek HAM (human right), misalnya, Islam adalah agama yang menjamin keselamatan pemeluknya, bahkan pemeluk agama lain dari tindakan badani yang di luar koridor hukum. Hal ini merupakan salah satu manifestasi dari tujuan syariah (Maqosid Al-Syariah) dalam memandang kompleksitas, pluralisme agama yang universal dan kosmopolit.
Adapun kesalamatan yang dimaksud disini adalah: pertama, hifdz ad-din, keselamatan umat dan warga Negara untuk bebas memeluk dan beribadah sesuai agama yang diyakininya, tanpa ada intimidasi, apalagi paksaan untuk berpindah agama. Kedua, hifdz an-nafs, keselamatan jiwa, fisik atau individu dari perbuatan di luar hukum, yang merenggut haknya sebagai manusia. Ketiga, hifz an-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan, tanpa adanya diskriminasi dari pihak lain demi menjaga kehormatan dan keberlangsungan hidup. Keempat, hifz al-mal, keselamatan harta benda, serta hak milik tanpa adanya manipulasi, jarahan, dan penipuan dari pihak lain yang bukan haknya. Kelima, hifz al-‘aql, keselamatan akal dari upaya pencekalan dan pembatasan kreatifitas berfikir, maupun profesi umat dan warga Negara secara keseluruhan, dengan batasan norma-norma yang ada. Dari lima komponen inilah yang kita kenal dengan sebutan “Tujuan Syariah” (Maqasid as-Syari’ah), yang telah dikenalkan oleh Imam al-Ghazali di dalam kitabnya al-Mustasyfa.
Terdapat suatu indikasi kekhawatiran ketika Islam bersifat inklusif. Sikap demikian adalah yang kerap kali ditampakkan oleh para oksidentalis dewasa ini, sikap bahwa Islam dinilai memberikan celah bagi non-muslim untuk menjatuhkan Islam dari dalam. Hal semacam itu tidaklah benar, jika Islam kita yakini agama yang rahmah. Lagi pula anggapan-anggapan semacam itu, menurut penulis, sangatlah menunjukkan sikap pesimistis yang berlebihan, over protective. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman wahyu secara realitas, agar pemahaman antara teks dan konteks yang terdapat dalam wahyu benar-benar menyentuh sebuah realitas, dan pemahaman yang membumi. Jika dalam pemahaman teks atau wahyu yang bersifat global ini dipahami dengan kontekstual, artinya menyentuh realitas sosial dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan inklusifisme umat muslim dewasa ini akan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang pluralis ini.
Tuhan menciptakan manusia dimuka bumi tidak lain untuk menjadikan khalifah fil al-ard, “wakil Tuhan di bumi”. Tanggung jawab inilah yang diemban manusia untuk menyampaikan visi-misi agama. Oleh karena itu posisi manusia di sisi Tuhan (transendent) adalah hamba, akan tetapi manusia dan sesama (horizontal) adalah khalifah. Sebelum melebar lebih jauh, patut kita pahami bersama makna khalifah itu sendiri, agar kita tidak terjebak memaknai hanya selintas harfiahnya saja. Menurut hemat penulis sendiri, khalifah merupakan bentuk dari aktualisasi diri yang dicanangkan terhadap manusia sebagai makhluk otonom untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Adapun bentuk pengabdian atau penghambaan dapat diinterpretasikan berbagai hal, bisa dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya, asalkan mampu mempertanggung jawabkannya secara sikap (responsibility-accountibility).
Islam mengajarkan tentang nilai-nilai tangung jawab (akuntabilitas), mulai tanggungjawab secara individul hingga tanggung jawab secara kolektif. Sebagaimana hadis Nabi, “masing-masing individu adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya.” sedangkan kepemimpinan yang bersifat kolektif, seperti jabatan tertentu, itu merupakan sebuah mobilisasi vertikal setiap orang, dalam bahasa fikihnya disebut fardlu kifayah.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Muslim religius adalah Muslim yang berani bertanggung jawab dan menjawab dengan solutif dari sekian persoalan masyarakat yang ada, tidak sebatas hanya bisa menakut-nakuti dengan ayat-ayat adanya siksa api neraka belaka. Pada dewasa ini sifat dari relijiusitas Islam hanya dimaknai sebatas simbol-simbol dan formalitas agama, lebih tepatnya tata letak di permukaan saja. dan jauh menyentuh pada realitas masyarakat di dalamnya. Kalau kita berani mengatakan lebih jauh lagi tentang persoalan sosial masyarakat yang benar-benar tanggung jawab kita adalah persoalan bagaimana pengentasan kemiskinan. Meniadakan diskriminasi dalam masyarakat tanpa memandang status sosialnya apalagi agamanya. dan juga bagaimana menjaga keseimbangan alam dan ekosistemnya secara global. Bukankah itu tanggung jawab kita bersama sebagai khalifah di muka bumi ini?
Berbicara mengenai simbolisme dan formalitas agama, penulis mempunyai pengalaman ketika penulis masih nyantri doloe. Pada suatu hari, tepatnya pada hari raya kurban (idul adha) semua orang sibuk bagaimana agar bisa berkurban, atau orang yang mapan dalam sektor ekonominya justru berfikir bagaimana supaya bisa naik haji dengan cepat, untuk melengkapi rukun Islam yang kelima. Tegasnya, orang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa membeli hewan kuban agar bisa dijadikan kendaraan besok di padang mahsyar (akhirat). Padahal di sekitarnya, terutama masyarakat fakir-miskin dan kaum “mustadafin” berpontang-panting mencari sesuap nasi dan memerlukan uluran tangan bagi para dermawan. Dan hal semacam itulah yang menurut penulis harus diprioritaskan agar tidak terjebak simbolisme agama. Dan saya yakin Allah akan lebih senang jika kita memendulikan sesama tanpa adanya dikriminasi dan memandang status sosialnya. Di dalam Al-Quran telah disebutkan: “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”. Dan orang yang bertakwa, menurut penulis, adalah orang yang menjalankan amanah dan tanggung jawabnya sesuai dengan porsi dan kedudukannya masing-masing.
*Ghufron AM adalah alumni Raudlatul Ulum I. Sekarang sedang melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif di Jurnal Amanah RU I
sumber gambar