[sumber] |
Oleh: Muhammad Madarik
Sakina tersenyum sumringah, saat
melihat kedua buah hatinya bermain di halaman depan rumahnya dengan riang
gembira. Rafika Rahma kini telah berumur 9,7 tahun, dan adiknya Agung Pratama
masih berusia 3,5 tahun. Karena putra pasangan Sahlan dan Sakina hanya dua,
akhirnya mereka berdua itu seringkali bermain bersama meski umurnya terpaut
agak jauh. Sakina kian merasa tenteram menyaksikan sang kakak begitu menyayangi
adiknya. Tidak seperti kebanyakan anak tertua yang acapkali menggoda hingga
membuat si kecil menangis dan merengek kepada ibunya, Rafika justru lebih
banyak merawat dan memelihara Agung dalam berbagai hal, terutama kebutuhan
harian si adik.
Rafika yang biasa dipanggil Fika
itu tidak segan-segan memandikan, memakaikan baju, merapikan rambut dengan
suri, memoles minyak angin di sekujur tubuh dan bedak di wajah sehingga
menyuapi Agung sampai kenyang. Bukan cuma terbatas pada kegiatan itu, Fika juga
tidak malas merapikan tempat tidur setiap pagi atau seusai istirahat siang. Jika
sedang diperintah ayah atau ibunya, anak yang tengah duduk di kelas empat SD
itu hampir-hampir tak pernah menampik, kendati ia sendiri masih mengerjakan
tugas-tugas sekolahnya sampai-sampai kedua orang tuanya merasa iba sendiri
untuk mentang-mentang memberikan instuksi. Kini, kakak-adik itu sedang bermain
abu, dedaunan, permainan bekas dengan sangat asyik. Sedangkan Sakina
menyaksikan keduanya sambil merapikan pakaian-pakaian yang baru saja dientas
dari tempat jemuran sebelah rumahnya.
Dari sisi perangai, keduanya memang
agak berbeda. Fika menjelma sebagai anak penyabar, lebih mandiri, pendiam,
seringkali mengalah, dan merangkul dengan penuh kasih sayang kepada sesama
lebih-lebih pada anak-anak yang dibawah usianya. Sementara Agung memiliki sifat
lebih keras, enggan mengalah, banyak berbicara, dan manja. Tetapi ketimpangan
tabiat inilah yang menjadikan hubungan kedua bersaudara itu lebih harmonis dan
terjaga hingga kini. Kalaupun Agung menangis lebih banyak disebabkan oleh
kemanjaannya, bukan karena Rafika yang menjadi gara-gara. Di luar itu semua,
Sahlan, Sakina dan Rafika tidak jarang dibuat tertawa oleh sikap serta kelucuan
dan kelakuan yang dibuat anak kecil itu. Sikap lucu itulah yang membuat rasa
geram seisi rumah yang terkadang muncul akibat gelagat manja berlebihan si
Agung.
Sakina sendiri memang seorang ibu
rumah tangga yang terbilang cekatan. Urusan-urusan yang terkait dengan rumah
seisinya ia selesaikan secara mandiri. Mulai dari memasak, menyiapkan makanan,
mencuci pakaian sehingga pada hal-hal kecil seperti menata atau memangkas
bunga-bunga yang dirawat di sekitar kediamannya. Sejak awal berumah tangga, Sakina
tidak sekali-kali diperingan oleh pembantu rumah tangga, meskipun pada
tahun-tahun pertama kawin dengan Sahlan masih bersama mertua dalam satu rumah.
Senyampang tidak betul-betul membutuhkan bantuan orang lain, termasuk mertua
sendiri, Sakina enggan merepotkan siapapun untuk menjadikan segala urusan isi
rumah tangga bisa dirampungkan. Sikap mandiri ini terus ia lakukan dan
dipertahankan sampai keluarga ini dikaruniai dua buah hati.
Hati Sakina merasa bangga dengan
keberadaannya sebagai ibu rumah tangga yang tampil begitu kuat sebagai wanita
tanpa harus membuat susah pihak lain. Bagi kebanyakan kaum hawa, hal demikian
ini tentu dipandang biasa saja. Tidak sedikit perempuan yang tengah mengarungi
mahligai rumah tangga dijalani tanpa uluran tangan pembantu. Hanya saja dalam
kaca mata Sakina, hal yang membuat dada Sakina kian patut dibusungkan karena ia
tidak saja sebagai ibu rumah tangga, tetapi di tengah kesibukan sebagai
perempuan yang dinobatkan menjadi ustazah setelah ibu mertuanya uzur masih
mampu mengurus keperluan kediamannya tanpa peran orang lain.
Semenjak ibu mertua Sakina sering
sakit-sakitan, wanita lulusan lembaga pendidikan agama itu diminta untuk
menggantikan perempuan tua yang semakin melemah akibat berbagai penyakit
mengisi pengajian kaum ibu di berbagai majlis taklim tingkat kampung. Istilah
“Muslimatan,” “Fatayatan,” “kumpulan ibu-ibu” merupakan label yang sudah begitu
melekat dengan Sakina. Masyarakat telah mendudukkan wanita keibuan tersebut
sebagai tokoh perempuan yang patut dicontoh dengan segala kesabaran dan
konsistensi terhadap kegiatan yang selama ini ia pimpin. Bagi Sakina, tugas ini
tidak begitu mengagetkan sebab di pesantren ia telah terlatih mengikuti
kegiatan-kegiatan kepesantrenan dan begitu akrab dengan materi yang ia
sampaikan pada perkumpulan ibu-ibu itu. Justru yang membuat lelah fisik Sakina
karena harus berjibaku antara mengatur waktu buat urusan-urusan kerumah-tanggaan
dan membagi jam-jam pengajian yang tersebar di beberapa kampung.
Hati Sakina semakin berbunga-bunga
tatkala Sahlan mampu membangun rumah sendiri yang kini telah ditempatinya.
Hanya tinggal bagian dapur saja yang belum seluruhnya selesai, sementara
ruangan yang lain termasuk teras depan sudah terbilang rampung. Perasaan lega menyirami ketenteraman kalbu
wanita berjilbab itu karena kediaman barunya ini tidak terlalu jauh dari rumah
mertuanya, sehingga dalam beberapa kesempatan ia sendiri atau terkadang bersama
anak-anaknya bisa menjenguk dan merawat ibu dari suaminya itu.
Sakina begitu bangga dengan sang
suami. Sahlan hanyalah seorang guru sebuah sekolah negeri di kota pinggiran.
Namun berkat ketelatenan menabung dan mengembangkan hasil tanah warisan
ayahandanya, PNS itu tidak saja mampu membuatkan tempat teduh bagi keluarganya,
tetapi juga dapat menyumbangkan penghasilan untuk ibu dan adik-adiknya yang
masih dalam proses studi. Sebagai pegawai negeri yang terikat oleh tugas,
Sahlan tidak begitu memiliki waktu luas untuk berkumpul dengan anak-istri. Ditambah
statusnya sebagai putra tokoh di desanya, menjadikan anak pertama anak kiai
kampung itu kian terpisah dengan anak-anaknya oleh kesibukan memenuhi beragam
undangan masyarakat sebagaimana dilakukan ayahnya dulu. Selama ini di mata
Sakina, Sahlan merupakan sosok pria yang penuh kasih terhadap putra-putrinya.
Di kala senggang, ia menyempatkan diri mengajak anak-istri keluar rumah untuk
me-refresh diri ke pantai, kolam renang, tempat-tempat rekreasi atau sekadar
menyantap menu di warung makan. Saat di rumah pun, ia juga luangkan semaksimal
mungkin untuk bersenda gurau dan menyelam di dalam dunia anak-anak dengan buah
hatinya.
***
Sudah satu tahun setengah keluarga
Sahlan pindah ke rumah barunya. Selama waktu-waktu itu dijalani, keluarga kecil
ini diselimuti dengan ketenteraman yang membuat Sakina semakin merasakan
kedamaian di tengah-tengah keluarganya. Tetapi tiga bulan terakhir ini ia mulai
menemukan rasa gundah di lubuk hatinya. Entah perasaan apa gerangan?
Sakina semakin tidak nyaman tatkala
memperhatikan raut wajah dan gelagat kaum ibu di majlis-majlis taklim yang ia
pimpin dirasakan begitu asing bagi dirinya. Tak seperti biasanya, mereka seakan
menyembunyikan sesuatu di balik untaian kata, seutas senyum dan simpuh mereka. Bisik
dinantara mereka semakin membuat Sakina terjerembab di dalam jurang gelap yang
membutakan. Tetapi keluh bibirnya terus menahan beribu tanya terpendam di dalam
hatinya.
Di kamar ini, Sakina hanya mampu
menangis. Pilu yang membebani pundaknya kian membuat air bening mengalir deras
dari kelopak mata indah itu. Tak disangka terjadi yang tidak pernah terbesit
dalam bayangannya sekalipun bahwa sang suami telah menikah lagi. Kabar “duka”
bagi Sakina ini diterima dari cerita salah satu peserta jemaah perkumpulan yang
ia bimbing. Terbukalah tabir kenapa selama ini para ibu-ibu seakan menyimpan
rahasia di balik gerak dan perilaku yang mereka pertontonkan di hadapannya.
Geram berkecamuk di dalam diri Sakina saat melihat sikap anggota pengajian itu,
meskipun Sakina menyadari bahwa hal tersebut dilakukan oleh mereka semata-mata
karena didorong rasa belas kasih kepadanya. Rasa marah yang terhimpit oleh
ketidakpercayaan dan ketidakmampuan kian bergemuruh ketika wanita yang dikawininya
merupakan sebagian anggota jamaah pengajian milik Sakina. Pantas saja
belakangan ini sang suami jarang pulang. Ragam alasan dilontarkan Sahlan ketika
ditanya oleh Sakina; tugas-tugas kantor, rapat-rapat kedinasan, jadwal
pengajian atau apa saja yang menunjukkan betapa waktu begitu sempit untuk
keluarga. Sakina memaklumi kondisinya sebagaimana ucapannya tanpa disadari
bahwa hal itu hanyalah kedok menyembunyikan syahwat birahi belaka.
Jika saja tidak teringat dosa,
ingin rasanya Sakina menyobek kitab materi pengajiannya yang tengah bersandar
di deretan kitab-kitab rak tempat buku. Sakina merasa isi kitab-kitab tersebut
yang telah berkontribusi terhadap status legalitas poligami sehingga membius
cara pandang kaum adam tentang kedigdayaan maskulinitas menindih feminimitas. Kalbu
Sakina begitu sangat membara saat teringat banyak laki-laki tampil menepuk dada
dengan bangganya berlatarbelakang firman Allah: “maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”. Hal yang
membuat hati Sakina hancur kenapa harus dipenggal, padahal ayat itu memiliki
sambungan: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Sakina menghempaskan wajahnya ke
bantal yang sejak tadi ia peluk. Derai bulatan air bening terus mengalir membasahi
bantal. Kalaulah beristri lagi didorong oleh niatan menolong janda yang
dihimpit kondisi teraniaya atau memikul beban anak yatim yang dinistakan atau
dikarenakan ia tidak dapat melahirkan buah hati buat sang kepala keluarga, sebisanya
nurani Sakina akan mengiyakan. Tetapi menikahi perawan dengan paras ayu dan dalam
keadaan ekonomi di atas rata-rata, membuat hatinya ingin menjerit sekuat tenaga
seraya menyuarakan satu tanya kepada seluruh manusia, adilkah ini? Bagi wanita
muslimah satu ini, dalam jarak jauh dan tanpa saling mengenal saja praktik
poligami masih menumbuhkan rasa keengganan, apalagi perempuan pilihan suaminya
merupakan sosok yang nyaris-nyaris bukan sebagai orang asing.
Mata Sakina kian membengkak
disebabkan tangisannya yang tak kunjung berhenti. Untaian kata-kata pitutur tentang
posisi kemuliaan lelaki pada relasi suami-istri dalam pandangan agama yang acapkali
ia sampaikan kepada para jemaah dalam setiap kesempatan pengajian seakan hilang
begitu saja dari ingatannya. Petuah yang berkaitan dengan kegigihan,
perjuangan, ketabahan tatkala menghadapi ujian dan cobaan kini tak lagi
bermakna bagi diri Sakina kendati berulang ia ucapkan pada mereka. Sikap tegar
dan tegas saat mengungkapkan nasihat-nasihat kebaikan atau kisah-kisah
kebajikan kini luntur berbalik berganti menjadi pribadi rapuh dan layu.
Sakina hanya mampu memandang kedua
anaknya yang sedang pulas dengan mimpi-mimpi indahnya. Ia mengusap kening si
Agung dan menciumnya dengan lembut, seketika anak lucu itu sedikit menggeliat
meskipun matanya terpejam. Sakina kemudian menutupi tubuh Agung dengan selimut
tipis yang mulai terhempas oleh gerakan-gerakan bocah tersebut. Kedua anak ini
ternyata sedikit mengobati hati Sakina yang mulai tercabik-cabik. Melihat jam
menunjukkan pukul 02:35 WIB, Sakina merebahkan diri di samping kedua anaknya
itu sembari tanpa henti tangan kecil Agung Pratama diciumi dengan perasaan yang
begitu berkecamuk. Sesekali air matanya kembali menetes, hingga akhirnya suara pujian-pujian
kepada Allah Yang Esa dan salawat pada Nabi Muhammad sebelum kumandang azan
dari musalla terdengar sayup-sayup. Sakina menghela nafas panjang, begitu berat
terasa kepalanya menahan kantuk tetapi matanya tak mau dipejamkan karena
pergolakan batin yang memanaskan dadanya. Perlahan ia renggut jemari anak
terkecilnya itu untuk kemudian diciumi lagi dan sedetik berikutnya air matanya
terjatuh. Saat suara azan mulai dikumandangkan, Sakina beranjak menuju kamar
kecil untuk berwudu dengan langkah gontai dan lesu.[]