Oleh: Muhammad Madarik
Konsep kesetaraan gender (gender equality) bagi sebagian besar
kaum Islam (baca: kalangan pesantren) masih dinilai sebagai gerakan
"pemberontakan" terhadap segala bentuk kemapanan, baik pada ranah
laki-laki secara personal, institusi keagamaan, maupun masyarakat. Penggambaran
para aktifis gender bahwa ada peran dari ahli agama (agamawan) yang turut
memperkuat posisi subordinasi perempuan dari laki-laki, kian membuat luka
komunitas pesantren semakin menganga.
Kritik pedas yang dilontarkan pegiat kesataraan gender begitu terasa
menusuk ulu hati "kaum sarungan" itu, saat para penuntut persamaan
tersebut mulai menggugah beberapa kitab kuning yang menjelaskan tentang relasi
suami-istri. Setidaknya, terdapat beberapa semacam buku catatan kecil (risalah
shaghirah) yang hampir-hampir semua pesantren menjadikannya sebagai bahan
kajian secara rutin. Di antara kitab tipis itu adalah Uqûd al-Lujain fî Bayân
Huqûq al-Zaujain, karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Qurrah al-A'yun fî
al-Nikâh al-Syar'î wa Adâbih, karangan Abd al-Qadir Bafadlal, Qurrah
al-Uyûn fî al-Nikâh bi Syarh Nazh Ibn Yanûn, atau Adab al-Mu'âsyarah
bain al-Zaujain li Tahshîl al-Sa'âdah al-Zaujiyah al-Huqûqiyah, milik Ahmad
ibn Asymuni.
Kitab-kitab sebagaimana tersebut, bagi para kiai dan santri, memiliki
tingkat popularitas dan apresiasi yang cukup tinggi, sehingga tatkala muncul
pihak-pihak yang mencoba mengusik sebuah "kemapanan" yang
diistilahkan orang dengan "konservatisme" itu, maka lahirlah sikap
kontra-konfrontatif menghadang gelora akselerasi kemajuan dari gerakan kelompok
perubahan.
SUMBU WACANA
Dengan cara menggunakan analisa Emile Durkheim dan Karl Marx sebagai
kendaraan guna memuluskan wacana keadilan dan kesamaan perempuan, kelompok
pegiat kesetaraan gender menebar isu-isu agama sebagai umpan awal.
Bagi pencetus sosiologi modern yang bernama lengkap David Emile
Durkheim itu agama merupakan sistem terorganisasi mengenai kepercayaan dan
ritual yang berfokus pada kitab suci. James Doyle yang menggunakan perspektif
Durkheim ini dalam beberapa penelitian tentang gender akhirnya berani
menyimpulkan bahwa "tanpa diragukan lagi, agama memang memainkan peran
dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai peran gender tradisional. Tidak
jauh berbeda dengan simpulan J. Doyle yaitu hasil analisa Karl Heinrich Marx
yang memandang agama sebagai candu bagi masyarakat, memaparkan fungsi agama
hanya sebagai alat yang dipergunakan untuk membentuk peran gender (baca:
tradisional). Dalam pandangan Marx, agama kerap digunakan untuk membius
sebagian besar masyarakat hingga mereka tunduk dan patuh terhadap kepentingan
dan nilai-nilai yang dianut oleh pemimpinnya. Dengan "janji-janji
surga" agama kemudian mampu mengalihkan perhatian mereka yang menderita di
dunia dari penderitaan dan penyebabnya, karena mereka lebih mengharapkan
balasan kenikmatan dan "bonus-bonus" akhirat yang melimpah. Dengan
cara yang sama pula, kaum laki-laki menggunakan jaring-jaring dogma agama untuk
menuai keuntungan dari kalangan anak Hawa.
Berlandaskan lontaran wacana-wacana semacam di atas, utamanya yang
dihembuskan aktifis barat, para pegiat kesataraan gender mulai mempersoalkan
relasi laki-laki dan perempuan dari perspektif hak-hak asasi manusia. Dalam
konteks pesantren, berangkat dari topik ini kemudian permasalahan menjalar
kepada: 1) sistem hirarki kuasa di pesantren, dan 2) pandangan bias gender
kitab kuning. Sebetulnya apabila dieja semakin detail lagi, persoalan-persoalan
gender lebih luas dari hanya sekedar dua masalah itu. Kita lihat misalnya
persoalan perdebatan pembacaan tekstual-kontekstual, dan pro-kontra tafsir emansipatoris,
tarik ulur tentang partisipasi perempuan dalam panggung politik.
HIRARKHI KUASA TAK BERKEADILAN
Seperti di dalam umumnya dunia pesantren, kiai diposisikan sebagai
tokoh sentral yang kekuasaan tunggal dan absolut. Tentu fakta ini tidak bisa
dipungkiri terdapat di lingkungan kompleks pesantren, sebut saja pesantren
Lirboyo, Ploso Kediri, pesantren-pesantren di wilayah Jombang, atau di
kota-kota lain. Dalam kedudukan demikian, kiai memiliki tempat strategis
sebagai sumber inspirasi dan cermin semangat moral (uswah hasanah) bagi para
santri. Para santri benar-benar merasakan kewajiban moral untuk berkonsultasi
dan mengikuti petuah-petuah kiai yang dianggap seperti petunjuk hidup bagi
mereka. Oleh sebab itulah, Abdurrahman Wahid menyebut sikap hormat (ta'dzim)
dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang
ditanamkan kepada setiap santri.
Sekaitan dengan sistem interaksi guru-murid terdapat cerita legenda di
kalangan santri tentang Hadratussyaikh Hasyim As'ari Jombang yang nyantri
kepada Syaikhona Kholil Bangkalan.
Begitu tunduk (ta'dzim), Hasyim Asy'ari muda ketika menuntut ilmu di
pesantren Mbah Yai Kholil hampir-hampir tidak pernah mengikuti pengajian
gurunya. Pasalnya, ia selalu diperintah berbagai macam tugas-tugas rumah tangga
sang guru, mulai dari mengisi air bak kamar mandi, mencari kayu bakar untuk
dapur sampai harus menemukan cincin milik Ibu Nyai yang hilang di lobang WC.
Tetapi ketaatan si murid dipercaya menjadikan akhir kisah itu berupa happy
ending. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama, pendiri pesantren Tebuireng Jombang yang melahirkan
banyak kiai pesantren di belahan Nusantara dan juga disebut-sebut sebagai ulama
ahli hadits.
Pola pergaulan kiai-murid di dalam dunia pesantren tidak bisa
dilepaskan dari torehan sejarah pertumbuhan pesantren di Nusantara sebagaimana
ditegaskan Nurcholish Madjid merujuk salah satu dari dua pendapat tentang
sejarah pesantren di Indonesia bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari
bahasa Jawa, persisnya dari kata "cantik", yang artinya seseorang
yang selalu mengikuti seorang guru ke manapun pergi menetap. Meskipun tidak
sekental dahulu, hubungan "guru-cantrik" ini kemudian diteruskan
dalam masa Islam melalui proses akulturasi budaya dengan istilah yang
berevolusi menjadi "guru-santri". Sekalipun perkataan guru dipakai
secara umum, tetapi untuk sosok yang terkemuka disebut dengan ujaran
"Kiai" yang berarti orang tua, keramat atau sakti dalam bahasa Jawa.
Istilah ini sejurus dengan kata "Syaikh" dalam bahasa Arab yang
kurang lebih sama dengan istilah Jawa tersebut. Oleh karena itulah, ucapan
"Kiai/Syaikh" begitu bermakna sakral, baik bagi kalangan pesantren
maupun kaum keraton, walaupun dengan implikasi terjamahan yang berbeda.
Kaitan dengan relasi kiai-murid ini, Abdurrahman Wahid mengakui bahwa
hirarki kuasa yang dimiliki pihak pesantren mempunyai perwatakan absolut.
Dengan berbekal salah satu pilar bangunan sebuah komunitas masyarakat, putra
Pahlawan Nasional, Wahid Hasyim itu menyebut dunia pesantren sebagai subkultur
masyarakat.
Hanya saja bagi para pegiat kesetaraan gender, fenomena relasi kuasa
antara kiai dan santri disimbolkan sebagai sebentuk "ningrat-abdi"
sehingga segala macam perintah dan peraturan dari sang kiai harus dimaknai
sebagai titah tak terbantahkan. Absolutisme yang dimiliki kiai pesantren
dicurigai oleh mereka (baca: para pegiat kesataraan gender) merupakan sebuah
susunan pranata yang nyaris mengarah kepada perilaku kultus individu. Parahnya
lagi, dalam pandangan mereka, struktur sosial keningratan tersebut dilandasi
legitimasi teks-teks agama yang termaktub dalam lembaran kitab kuning. Kitab
Ta'lim al-Muta'allim karya Syaikh al-Zarnuji merupakan salah satu dari
sekian kitab kuning yang sangat mempengaruhi bangunan hubungan kiai-santri.
Dalam kaca mata mereka, tatanan dan tuntunan tentang garis-garis besar
pergaulan dari ulama yang bernama lengkap Burhan al-Din Ibrahim al-Zarnuji
al-Hanafi itu merupakan pisau pembedah bagi wujudnya kesetaraan gender yang
betul-betul tumpul. Keperkasaan pemimpin pesantren yang diwakili sosok
laki-laki dianggap telah mengiris keikutsertaan perempuan di dalam peran-peran
penting perkembangan pesantren. Alih-alih menjamah ranah manajerial pesantren,
lokasi saja dikungkung di balik ketebalan dinding-dinding doktrin ajaran agama
atas nama perbedaan kaum Adam dan golongan Hawa.
JUSTIFIKASI TEKS TERHADAP LAKU SANTRI
Seperti disinyalir Nurcholis Madjid bahwa tekanan nilai mistik
interaksi guru-murid lebih dipengaruhi oleh konsep hubungan
"guru-centrik" yang terdapat pada konsep-konsep Hindu-Budha atau
bahkan dilatari oleh konsep stratifikasi masyarakat Jawa jauh sebelum Islam,
nuansa mistis juga membawa sikap-sikap santri yang cenderung berlebihan
terhadap kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren. Bagi Cendikian Muslim
itu, sikap berlebihan tersebut jika ditinjau dari segi efisiensi dan asas guna
yang bisa diperolehnya.
Sudah bukan rahasia lagi, orang-orang pesantren memang menempatkan
kitab kuning sebagai rujukan dan bahkan landasan hidup sebelum mengacu kepada
al-Qur'an dan hadits. Bagi kaum santri, kedua warisan Nabi Muhammad SAW itu
dianggap terlalu transendental untuk secara langsung dibuat sandaran dan tolok
ukur. Bahkan sedemikian sakral, bagi orang NU, demikian kata Munawir Abdul
Fatah, enggan menyebut "kitab" dengan istilah "buku". Sebab
kalau dibilang buku konotasinya sama dengan buku-buku yang beredar, yakni semua
disiplin ilmu. Padahal kitab itu sangatlah erat dengan pelajaran
keagamaan/keislaman.
Isi dalam kitab kuning dinilai sebagai pandangan yang sangat
berpengaruh terhadap kalangan pesantren di dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Kitab kuning ditangkap seperti berkedudukan doktrin agama, karena bagi mereka
keberadaan kitab kuning merupakan karya para alim yang tak diragukan lagi
kompetensi dan kapabilitasnya, baik dari segi keilmuan maupun kerohanian,
sehingga akseptabilitas masyarakat pesantren terhadap kitab kuning begitu
besar.
Di luar kepatuhan dunia pesantren pada muatan karya ulama (utamanya
masa klasik), bagi pegiat kesetaraan gender masih bias gender. Materi kitab
kuning, dibaca oleh mereka cukup bukti untuk dikatakan mensubordinasi
perempuan. Contoh yang dapat diangkat sebagai misal antara lain keberadaan
perempuan sebagai makhluk Tuhan dihargai separo dari nilai laki-laki. Hal ini
bisa ditilik dari tinjauan fiqh soal anjuran penyembuhan hewan aqiqah; bagi
bayi laki-laki 2 ekor kambing, sementara kambing yang diperuntukkan buat anak
perempuan cukup satu ekor saja. Kesaksian perkara-perkara tertentu dalam
tinjauan fiqh; dua perempuan dipatok setara dengan satu laki-laki.
Bagi para pegiat kesetaraan gender, akibat pandangan-pandangan ulama
yang masih bias gender di dalam kitab kuning tersebut mempengaruhi wawasan
masyarakat secara umum (terutama di pedesaan). Lihatlah misalnya bagaimana
wanita usia gadis dikekang gerak-gerik, pergaulan dan ruang kehidupan dengan batasan yang tidak
seluas anak remaja laki-laki.
Berkenaan dengan cara "ber-fiqh" yang masih begitu kental
pembedaan laki-laki dan perempuan, para pegiat mengajak untuk melakukan
kontekstualisasi fiqh. Konsep ini tetap meletakkan teks-teks kitab fqh madzhab
sebagai suatu kebenaran, tetapi analisa teks-teks kitab fiqh selayaknya
menyesuaikan konteks yang ada. Prasyarat yang dibutuhkan dalam rangka
kontekstualisasi fiqh bisa dilakukan dengan cara: (1) Memahami sejarah sosial
pemikiran fiqh, dan (2) Memahami substansi nilai-nilai teks.
Tentu saja uraian di atas merupakan beberapa wacana yang dikembangkan
oleh kalangan pegiat kesetaraan gender. Lebih lagi wacana itu kian meningkat
mnjadi tuntutan, dan hingga kini terus didengungkan oleh mereka. Dengan
fenomena demikian, mau tidak mau kaum pesantren harus merespon perkembangan
zaman dengan segala dinamikanya, termasuk kemunculan para pegiat kesetaraan
gender agar semua pihak di lingkungan pesantren tidak menjadi gagap. Wallahu
a'lam.
Sumber gambar:
DAFTAR BACAAN:
1. Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, Pustaka
Pesantren, Yogyakarta: 2006.
2. Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender,
UIN-Maliki Press, Malang: 2011.
3. Masdar F. Mas'udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning”,
dalam Lies Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Wanita Islam
Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, INIS, Jakarta: 1993.
4. Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren,
LKiS, Yogyakarta: 2001.
5. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, Mizan, Bandung: 1995.
6.
http://www.islamcendekia.com.konsep-kesetaraan-gender-menurut-barat-dan-islam.html. (akses:13/03/2016)