Oleh: Irham Thoriq*
Seorang pustakawan militan dari Malang berulang kali
menentang. Dia tidak setuju dengan anggapan banyak orang, yang belakangan mungkin
sudah dianggap sebagai kebenaran. Anggapan itu memang pahit. Terlampau pahit.
Anggapan itu adalah bangsa kita dicap sebagai bangsa yang
minat bacanya rendah. Lalu, anggapan itu diperkuat hasil survey yang menyatakan
kalau minat baca kita peringkat kedua terbawah dari total 61 negara yang
diteliti. Sudah 71 tahun merdeka, tapi kita secara tak sadar mengamini hal itu.
Pustakawan ini mengatakan kalau anggapan ini salah.
Masyarakat kita sebenarnya tidak malas membaca, tapi bacaan yang tidak ada. Mau
beli buku tidak punya uang, mau pinjam ke perpustakaan kota, terlampau jauh.
Karena inilah, pustakawan ini memimpikan suatu saat bisa membangun seribu
perpustakaan di desa-desa. Agar buku tak lagi jauh dari orang-orang kampung.
Jika buku dekat dengan masyarakat, mau tidak mau masyarakat
akan membaca. Minimal membaca buku resep masakan, minimal membaca kiat sukses
membeli rumah tanpa uang muka, minimal membaca buku kiat sukses menjadi pembawa
acara, minimal lagi membaca judul buku.
Saya kira, kesalahan pembuat kebijakan di negeri ini adalah
kurangnya upaya mendekatkan buku kepada masyarakat. Lalu, masyarakat tidak
mencintai buku. Kau tahu, buku pelajaran saat kita kecil terlalu banyak
hafalan. Orang disuruh menghafal tokoh-tokoh, rumus-rumus, sejarah dan lain-lain.
Pelajar tidak diajari bagaimana mencintai dan menikmati buku
serta pengetahuan. Mungkin karena ini, setelah lepas dari sekolah atau kuliah,
orang menjadi jauh dari buku. Meninggalkan buku, meninggalkan pengetahuan. Atas
semua itu, jawababannya hanya satu: karena kita tidak pernah diajari bagaimana
cara mencintai buku dan mencintai pengetahuan.
Hal inilah mungkin yang tidak dialami sastrawan Chairil
Anwar, sastrawan angkatan 45 yang hanya berusia 26 tahun tapi saja-sajaknya
masih hidup hingga kini. Meski tidak pernah sekolah tinggi, tapi Chairil sangat
mencintai buku dan pengetahuan.”Kata mama saya, ayah mending besok tidak makan
daripada besok tidak beli buku,” kata Evawani Alissa, anak satu-satunya Chairil
Anwar dalam sebuah diskusi yang diadakan Tempo baru-baru ini yang tayangannya
saya lihat melalui Youtube.
Sejak itu, saya baru tahu kalau Chairil Anwar memang maniak
buku. Bahkan, ada cerita tersohor tentang Chairil Anwar dan sastrawan Asrul
Sani. Suatu hari, Chairil dan Asrul mengunjungi toko buku yang cukup terkenal
di Jakarta waktu itu, namanya Van Dorp.
Di toko buku ini Chairil dibuat ngiler dengan buku berjudul
Also sparch Zarahustra karya filsuf
Fredrich Nietzsche. Mereka lantas mencuri buku ini. Chairil mempunyai
pembenaran kenapa dia menucuri buku di toko buku milik belanda tersebut.”Bangsa
mereka juga merampok kekayaan negeri ini,” kata Chairil.
Tapi menurut saya apa yang dinyatakan Chairil ini hanya
pembenaran saja. Dari cerita teman-temannya, Chairil yang hidup susah di
Jakarta memang sering mencuri. Bahkan teman-temannya pernah iuran menebus
Chairil, setelah ‘si binatang jalang’ ditangkap polisi karena ketahuan mencuri
seprai.
Chairil mencuri buku mungkin karena kehausannya terhadap
ilmu pengetahuan. Sebagai penyair, Chairil juga butuh bahan untuk mengarang
puisi yang bertenaga. Dia tidak mungkin membuat puisi hanya berbekal imajinasi
dan angan-angan kosong.
Perihal mencuri buku, saya kira setiap zaman selalu
mempunyai pencuri bukunya masing-masing. Di Perpustakaan Kota Malang
sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar Malang,ada 4.725 buku buku hilang atau
bahasa halusnya belum kembali selama bertahun-tahun. Dan ironisnya, yang banyak
buku hilang adalah buku bertema kedokteran.
Mungkin mahasiswa kedokteran yang pinjam dan tidak
dikembalikan itu kepalanya sedang pening. Dia bingung karena dituntut segera
menyelesaikan kuliah oleh orang tua, buku di kampus tidak tersedia, mengurus
kartu perpustakaan Kota Malang sulit bagi orang luar kota, maka lahirlah ide
mencuri. Dalam hati mungkin mereka bergumam: nanti kalau saya sudah jadi dokter
akan saya kembalikan bukunya.
Atau mungkin mahasiswa tersebut tidak niat mencuri. Tapi
buku yang mereka pinjam di perpustakaan dicuri teman. Lalu, mahasiswa ini takut
mau melaporkan karena sudah terlanjur lama buku menghilang. Ini jugalah yang
dirasakan seorang teman ketika menghilangkan buku di perpustakaan kampus.
Karena buku hilang dan denda di sistem peminjaman berjalan terus, teman saya
ini disuruh bayar hampir sejuta. Untung, dia dapat diskon dengan membayar Rp.300
ribu di penghujung kuliah. Jika tidak membayar, tidak bisa ikut yudisium yang
itu sama saja artinya tidak bisa lulus.
Seorang ilmuan barat David J Leiberman juga pernah menulis
tentang cerita pencurian buku. Menurut dia, sebodoh-bodohnya orang itu adalah
orang yang meminjam buku tapi buku tersebut dikembalikan.
Lalu, berdosakah orang yang mencuri buku? Saya kira
tulisan ini tidak hendak membahas halal dan haram, karena sudah ada lembaga
yang memiliki kewenangan memberi fatwa. Maka saya turunkan lagi pertanyaannya,
boleh tidak mencuri buku?
Atas pertanyaan itu saya kira jawabannya boleh. Kita perlu
mencuri buku dari seorang kutu buku yang setelah dibaca buku tersebut
diendapkan saja di bawah kolong kamar tidur. Kita juga perlu mencuri buku dari
orang-orang yang hanya senang membeli buku tapi tidak pernah berhasil
menuntaskan membaca buku yang mereka beli. Lalu, Anda masuk kriteria yang mana
ya?
Buku hasil curian itu bisa kita buat perpustakaan
gratis. Hitung-hitung, dengan mencuri buku dan membuat perpustakaan gratis,
kita sudah menyebarkan ilmu Tuhan. Bukankah itu pahala, bukan malah berdosa.
Seorang pustakawan yang ceritanya saya sebut di atas juga
pernah memberi tip dan trik cara mencuri buku di perpustakaan. Caranya, sobek
sampul depan dan belakang. Jika di dalam buku masih ada penanda yang
dikhawatirkan pintu perpustakaan berbunyi ketika kita keluar, maka lembaran itu
jangan lupa disobek.
Karena kita hanya akan jadi bahan tertawaan semut ketika
kita mencuri buku, lalu pintu berbunyi dan kita masuk penjara karena buku yang
tak seberapa harganya. Padahal niat kita mulia, yakni demi literasi. Jangan
lupa, kita mencuri buku karena alasan keadilan sosial juga yakni agar buku-buku
tidak hanya dinikmati orang kuliahan dan orang gedongan saja.
Lalu bagaimana kalau kita tertangkap beneran? Semoga saja
para penggiat literasi bisa bersatu dan berdemontrasi di depan kantor polisi
sambil menenteng poster bertuliskan: Hentikan Kriminalisasi kepada Pejuang
Literasi.[]
- Penulis tinggal di
www.irhamthoriq.com
- Sumber gambar: Admirable sentiment