Monday, October 8, 2012

Guru Cermin: Kesaksian Seorang Murid


Oleh: Muhammad Hilal*

Namanya adalah Ismail Muadz, salah seorang guru Madrasah Tsanawiyah.

Dia adalah salah satu guru kegemaran saya, sebab gaya mengajarnya adalah bercerita. Seperti murid-murid yang lain, menyimak mata pelajaran itu membosankan, bikin mengantuk pula. Tapi berkat cerita-ceritanya, ruang kelas menjadi menyenangkan secara ajaib, apalagi guru satu ini pandai mengolah cerita menjadi tuturan yang lucu, tentu kami selalu betah di ruang kelas berlama-lama.

Bertahun-tahun kemudian barulah saya sadar betapa bercerita itu adalah salah satu strategi pendidikan, salah satu cara menanamkan nilai kepada anak-anak. cara ini adalah tradisi lama, sudah berlaku sejak manusia belum mengenal tulisan tangan, dan selama itu pula strategi ini diakui keampuhannya. Bahkan Alquran pun menggunakan strategi ini untuk menyampaikan nilai-nilainya yang agung.

Dasar kami yang masih anak-anak waktu itu, seorang guru pun akan mendapat predikat favorit asalkan lulus persyaratan tertentu: pintar bercerita lucu. Kalau ada seorang guru yang mengajar hanya lurus-lurus saja, berpusat pada buku diktat, tak pandai melucu, jangan harap kami akan kerasan di kelas. Guru yang satu ini berhasil lulus persyaratan yang kami bikin.

Saturday, October 6, 2012

Historical Accountability


Oleh: Ahmad Atho’ Lukman Hakim*

Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (11) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (Q.S : Al-Baqarah 11-12).

Jika ada penguasa mengklaim dirinya telah berbuat yang baik untuk bangsa: bahwa kebijakan ini adalah demi masa depan masyarakat yang lebih baik, padahal yang yang terjadi justru sebaliknya, mereka melakukan kerusakan di muka bumi, kebijakan yang mereka hasilkan justru menimbulkan ketidakadilan ditengah masyarakat, maka orang-orang yang demikianlah yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat yang tertera di atas. Dalam ayat lain Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al-Hujarat 6)

Secara bebas ayat tersebut dapat pula kita tafsirkan sebagai berikut: jika penguasa yang telah nyata otoriternya dan menulis sebuah sejarah, maka wajib bagi kita untuk bersikap kritis dan melakukan penyelidikan investigatif agar kita dapat berlaku adil dan tidak merugikan siapapun.  Sejarah adalah ingatan kolektif yang dikontruksikan. Adagium yang selama ini dipercaya adalah “sejarah ada di tangan penguasa”. Dengan kekuatan sejarahlah kekuasaan dibangun. Bahkan keimanan kita pun dikukuhkan dengan sejarah.

Thursday, October 4, 2012

Duri Di Matamu

Oleh: Halimah Sa'diyah*



1
Aku berdoa kau tak pernah tahu
Meski sangsi berkelindan di hati

Ada mata yang diam
Diam memandang wajah bak arca Manjali

Ada mata yang diam
Diam memandang wajah berpendar cahaya

Ada mata yang diam
Diam tercenung pada wajah berbintang

Ada mata yang diam
Menemu duri di dalam bintang

Mata yang diam
Diam tertusuk duri

Dan kau tahu
Bintangmu, bintangmu
Durimu, duriku

II
Mataku kau jerat lagi pada sebuah sore
Sebuah sore di tengah ilalang

Kau gerak-gerakkan rambut panjangmu yang tergerai
Mengerling juga pada mata

Matamu seolah tersenyum
Mengikuti irama bibirmu yang ranum

Senyum tak terjadi pada mataku
Terkesiap menemu duri
Yang belantara antara kerlingan senja

Kemana senyummu yang indah?
Mataku meraba di tengah ilalang

 *Halimah Sa'diyah
adalah Mahasiswa di Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, September 22, 2012

Kitab Fikih Tak Tabu Dikritisi


Oleh: Abdul Rahman Wahid

Sering kita jumpai di kalangan masyarakat awam yang pemikirannya bisa dikatakan masih kolot atau konservatif anggapan bahwa semua hal baru yang berbau modern itu adalah hal yang tidak baik dan tak layak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, pendidikan yang bukan agama mereka anggap pengetahuan yang menyimpang, sampai-sampai mereka dengan tegasnya mengatakan, kalau seorang santri menggeluti ilmu pengetahuan umum, ilmu agama yang dipelajarinya akan sia-sia. Mereka hanya memandang masalah secara tekstualnya saja, terlalu menerima realitas yang ada, tanpa mau mengkaji ulang akan permasalahan yang dihadapinya. Kitab-kitab fiqih yang mereka pelajari seakan-akan tidak perlu ada pengkajian ulang lagi, dalam artian mereka menganggap kitab-kitab fiqih yang telah ditulis oleh para pakar tersebut  adalah karya yang sakral dan hasil ijtihad mereka tidak perlu dikritisi lagi.

Pada akhirnya pemikiran yang seperti itu sangatlah berpengaruh dalam interaksi antar sesamanya,  menjadikan hubungan sosialnya tidak lagi baik. Karena orang yang hanya berpikir fanatik seperti itu cenderung melihat orang lain yang tidak sepaham dengan mereka  sebagai pemikiran yang salah. Bahkan, seringkali terjadi pengafiran antar sesama hanya karena permasalahan sepele, dan hal seperti itu sudah biasa terjadi dikalangan masyarakat awam.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top