Wednesday, December 30, 2015

Moralitas Itu Berbahaya


Oleh: Muhammad Zeini

Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru adalah orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah. Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid. Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kekaisaran Ottoman Turki mengaku bermoral dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke berbagai penjuru negara Timur Tengah.

Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan. Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-orang Yahudi di masa perang dunia kedua. Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan. Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal di berbagai penjuru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.

Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan itu sendiri.

Moralitas adalah pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait dengan moralitas. Kita juga seringkali menggunakan pertimbangan moral dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya? Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?

Satu hal yang pasti adalah, bahwa moralitas adalah pertimbangan pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah kenyataan alamiah. Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia adalah sesuatu. Para filsuf Eropa menyebutnya sebagai Ada (Being, Sein, to on). Para mistikus India menyebutnya sebagai “Diri” (the Self). Namun, sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral, maka orang akan mengikutinya. Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang ini banyak terjadi.

Ketika orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh kenikmatan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, karena ia telah bertindak jahat. Tindakan tersebut telah menyakiti dirinya dan orang lain. Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup dalam penderitaan. Sebaliknya, ketika orang bertindak baik, maka ia akan berusaha untuk mempertahankan tindakannya tersebut. Ia lalu melekat dan terikat dengan tindakan tersebut. Ia tergantung secara emosional dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.

Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan baik tersebut. Yang muncul kemudian adalah perasaan bersalah, karena orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang merasa munafik atau justru menjadi orang yang munafik. Ia justru malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran, banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru adalah orang yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius. Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat dalam pada orang tersebut.

Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan. Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan. Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari tegangan, penderitaan dan ketakutan batin tersebut, orang justru malah menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti lingkaran setan yang tak bisa diputuskan. Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri, dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak bermoral.

Sayangnya, kita seringkali menggunakan pertimbangan moral di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin. Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin tersebut. Mereka justru menjadi orang yang paling kejam. Maka, menurut hemat saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu sendiri.

Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama. Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan kebencian mewarnai hidup bermasyarakat kita. Kita pun gemar menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas yang justru menghasilkan kemunafikan dan kekejaman.

Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita, selain moralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas adalah sesuatu yang harus dilampaui. penulis menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir. Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah Apakah ini baik atau buruk?, melainkan Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau tidak? Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untung dan rugi.

Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat pada setiap keadaan yang terjadi. Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada situasi di sini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana, berhenti melakukan analisis dan berhenti berpikir! Lakukan apa yang mesti dilakukan di sini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah dari saat ke saat. Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain adalah tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok adalah tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan berbohong adalah tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat pada keadaan-keadaan tertentu.

Ketika pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan terus mengalami ketegangan di dalam hatinya. Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk melakukan pertimbangan untung dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup. Jalan keluar dari masalah ini hanya satu yaitu kejernihan berpikir. Orang yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, tetapi juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?[]

sumber gambar: kaelanunrau.com

Monday, December 28, 2015

Antara Raisa, Elly Sugigi, Miss Universe dan Kunci Menantu Idaman




Oleh: Najmah Muniroh

Sebagai penikmat film, saya punya bakat unik, yaitu kemampuan menebak akhir cerita. Beruntungnya, tebakan saya hampir tidak pernah meleset. Banyak yang penasaran bagaimana bisa saya jadi ahli ‘terawang’ ending cerita begitu.

Let me tell you a secret, guys... Urusan menebak akhir cerita sebenarnya triknya gampang. Kalau cuma kepingin lihat di mana si cowok akan melabuhkan cintanya, pada cewek A atau cewek B, trik saya sederhana saja. Modal saya cuma membandingkan adegan. Cukup bandingkan saja adegan siapa yang paling banyak muncul dan dramatis, adegan cewek A atau adegan cewek B? Dan jika proporsi adegannya sama-sama banyak dan sama-sama romantis saya tinggal pakai trik kedua: cari yang paling cantik di antara keduanya. Kenapa? Karena cowok ganteng biasanya bersanding dengan cewek cantik. Beres. Problem is solved. Akhir cerita bisa saya tebak dengan mudah berkat kejelian melihat hubungan antara“si cantik dan si ganteng”.

Soal hukum cantik-ganteng ini kadang saya suka sebal sama film Disney. Ini film sudah banyak bikin dosa sama saya dan seluruh anak-anak di dunia. Kenapa? Ini karena Disney membuat semua penontonnya percaya bahwa bahwa “pangeran tampan hanya pantas bersanding dengan putri cantik”. Terus bagaimana nasib saya dan jutaan, atau bahkan miliaran  jomblo yang tidak cantik seperti saya, hah?! Duh, harapan mendapat jodoh pangeran tampan pun segera pupus sebelum berkembang (sambil baca kalimat terakhir, tolong bayangkan back sound lagu sedih mendayu-dayu agar terkesan dramatis ya, lagu Pupus-nya Dewa19  juga boleh).

Ah, dunia memang kejam pada para jomblo, Bung. Sialnya lagi, di dunia ini tidak semua orang dikasih anugerah kecantikan dan ketampanan.Saya juga tidak cuma sekali-dua kali mendengar komentar dari orang-orang sekitar saya yang  bunyinya gini, “Dih, cewek cantik begitu kenapa mau nikah sama cowok item yang tinggal tulang sama kentut yak?”

Ck ck ck... Orang-orang itu tidak pernah pernah mikir, apa? Bagimana kalau si cowok ternyata memang baik, setia, saleh, tidak bertingkah macam-macam, tidak suka selingkuh dan bukan pembohong (kayak kamu)? Bagaimana kalau dia orangnya dewasa, pengertian, bikin nyaman, juga rajin menabung, rajin menyapu dan rajin mengepel (ini cowok apa pembantu idaman sih)? Saya rasa ‘semua cewek setuju’ bahwa cowok baik-baik kayak begini jauh lebih menjanjikan dan bisa diandalkan di masa depan daripada cowok yang modalnya muka ganteng dan janji palsu doang (ralat: mungkin tidak semua cewek, mungkin cuma saya saja). Bagaimana? Masih menganggap penampilan luar lebih penting daripada inner beauty?

Sebentar, jangan salah paham. Saya tidak sedang ngajari kamu penampilan luar tidak penting loh ya! Tidak begitu maksud saya. Kecantikan luar dan dalam itu ‘sama-sama penting’. Kamu tidak bisa cakep saja tapi bego dan jahat. Kamu juga tidak bisa ‘baik’ saja tapi penampilannya berantakan kayak urap tumpah. For your additional information, iklan ter-seger abad ini adalah contoh “bantahan” paragraf argumentatif di atas yang bilang bahwa inner beauty itu lebih penting. Di sini kamu bakal dapat bukti kalau kecantikan luar itu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Pernah lihat iklan permen rasa mint yang dibintangi Raisa? Itu loh, yang ada adegan dia ditanya-tanya sama calon mertuanya, “Kamu suka bola?”. Terus si Raisa jawab, “Enggak Pak. Tapi saya suka MotoGP.”Waktu Raisa omong begitu, dia sedang naik MotoGP warna biru-putih, lalu ada angin yang bikin rambut Raisa berkibar-kibar dramatis. Duh, seger banget lihatnya—saya cewek dan saya merasa seger lihatnya, bayangkan kalau yang lihat cowok, entah komentar apa yang bakal keluar. At the end of story, si Raisa tetap diterima jadi mantu karena si Raisa tetap keren walau bagaimanapun, bahkan walau dia tidak sejalan dengan calon mertuanya. Ck ck ck... Sungguh hebat pesona aura kecantikan Raisa ini.

OK, berhenti dulu melamun tentang Raisa. Sekarang coba bayangkan kalau iklan tadi diperankan oleh Elly Sugigi. Di adegan itu dia naik odong-odong terus pakai baju gembel sobek-sobek degan muka kusam sambil berpose monyong khas kaum alay, lalu dia bilang, “Enggak Pak. Tapi saya suka MotoGP.” Singkat cerita, di adegan terakhir calon mertuanya terkena serangan jantung. Elly Sugigi ditolak, hingga ia memutuskan untuk membantai seluruh keluarga calon mertuanya. Ck ck ck… Sungguh tragis. Dan saya rasa adegan thriller bukanlah ide bagus untuk iklan promosi permen mint yang –memang seharusnya– seger dan berakhir dengan indah, kan? Hmm… That’s just my simple illustration to show you the power of beauty.

Tuhan itu indah dan suka keindahan. Islam juga agama yang cinta kebersihan dan keindahan. Coba cari, deh, agama mana lagi selain Islam yang menganjurkan umatnya untuk mandi seenggaknya sekali seminggu pada hari Jumat, potong kuku, mandi besar sampai mengatur tata cara istinjak segala. Itu detail banget, loh. Sampai urusan-urusan printilan dibahas segala. Itu salah satu bukti bahwa Islam itu juga cinta kebersihan dan keindahan. Sebaliknya, tak patut rasanya kalau kita hanya fokus pada penampilan luar tapi abai dengan kecantikan hati. Tapi alangkah eloknya kalo kita menghargai dan menghormati diri sendiri dengan menjaga penampilan.

Jangan sampai ada orang yang ogah dekat sama kita karena kita bau ketek. Atau malah orang jauhin kita hanya karena kita hobi menyebarkan salam padahal jarang gosok gigi. Jangan pula ada cerita orang meremehkan kita karena pakaian kita tidak bagus. Bagus itu tidak perlu mahal atau kekinian loh ya. Yang penting rapi, tidak acak-acakan dan serasi, jadi enak dilihatn. Kan kata pepatah cinta itu turun dari mata ke hati.

Apa masih kurang banyak pesan dan tips biar diterima kerja atau diterima jadi menantu yang menyebutkan pentingnya penampilan dalam menciptakan kesan? Biar kata tidak cantik-cantik atau ganteng-ganteng amat tapi kalau rapi, bersih, wangi ditambah pintar, rajin, jujur dan bertanggung jawab, level keren kamu pasti jadi naik berkali-kali lipat. Itulah kenapa innerbeauty dan penampilan luar sama-sama penting. Tak ada yang lebih tinggi atau rendah, tak ada yang jadi prioritas dan sekadar pilihan, karena keduanya sama-sama “penting”.

Jadi, jika kalian, wahai kaum lelaki, masih menganggap bahwa intelektualitas dan kritisisme adalah pencapaian paling puncak dalam sejarah manusia, sementara keelokan fisik dan kerapian adalah sebenar-benarnya eksploitasi dalam peradaban dunia, maka kau salah besar. Masih tidak percaya? Coba ingat-ingat lagi, berapa kali kalian selamat dari omelan gebetan, pacar atau istri karena jarang mandi. Intinya, jangan (lagi) coba-coba berdalih lupa mandi karena kalian sibuk membaca buku, berdemonstrasi dan menyelamatkan dunia. Ah, kalian terlalu berfantasi. Setidaknya selamatkan dulu yang terdekat, hubungan cinta misalnya.

Sebagai penutup, ijinkan saya mengutip motto Miss Universe, yaitu Beauty, Brain, and Behaviour. Coba lafalkan 1000 kali dan hafalkan  benar-benar agar menancap kuat di otak kamu. Karena (kata ustaz saya) tiga hal tersebut adalah koentji calon mantu idaman. Soal urusan urutan Motto 3B (Beauty, Brain, Behaviour) yang diawali oleh kata beauty saya tidak mau banyak komentar. Kenapa harus beauty dahulu? Kenapa bukan brain dulu, atau behaviour dulu? Nah loh…  Jadi panjang kan urusannya?

Kalau saya bahas bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas cuma buat bahas sisi historis, sosiologis, psikologis motto tersebut. Sekalian analisis penerjemahan teks yang mengandung ideologi. Dan juga penelusuran peran Miss Universe sebagai subjek yang aktif memiliki, merasakan dan memahami ideologi 3B tersebut. Belum lagi urusan tarikan kepentingan para elit di media. Duh, untuk pembahasan motto Miss Universe yang terdiri dari tiga kata saja kalkulasi kasar perhitungan waktu yang diperlukan sekitar 329 jam 42 menit 23 detik.

Mungkin sebaiknya kita obrolkan ini kapan-kapan sambil minum kopi di angkringan. Kan enak kalau bisa minum kopi sambil mengobrol. Jadi kita bisa sekalian dapat ilmu baru, pacar baru, pengalaman baru, dan suasana baru. Sekalian nanti kita bisa bahas lebih lanjut pentingnya keseimbangan antara innerbeauty dan penampilan sebagai modal meraih gelar menantu idaman.[] 

sumber gambar: allkpop.com

Sunday, December 27, 2015

Novel Ayah dan Realisme-Magis yang Tak Tuntas


Oleh: Muhammad Hilal
 
Di bawah kolong langit ini, ada dua orang bernama John Austin yang lumayan saya kenal. Yang pertama adalah seorang filsuf kenamaan berkebangsaan Inggris. Saya mengenalnya melalui bukunya, How to do Things with Words. yang amat legendaris dan menjadi bacaan wajib bagi mereka yang mengambil konsentrasi Filsafat Bahasa. 

Lalu, yang kedua adalah seorang mahasiswa yang mengaku dirinya gila. Namun kegilaan tampaknya dia maknai secara positif, bahkan dalam kadar tertentu mengungguli kewarasan itu sendiri. Bisa jadi, kegilaan yang dia maksud mirip seperti yang dipahami oleh Ibn al-Husain an-Naisabûrî melalui bukunya, ‘Uqalâ’ al-Majânîn. Perhatikan judul itu, sangat kontradiktif. Orang-orang gila (al-majânîn) dia sifati sebagai waras (‘uqalâ’). Bukankah kegilaan itu sendiri adalah nihilnya kewarasan? Tidak, kata Ibn al-Husain an-Naisabûrî. Ada satu tingkat yang melebihi keduanya: orang-orang gila yang waras. Dia menyebut sederet contoh ‘Uqalâ’ al-Majânîn yang sangat banyak, di antaranya Uwais al-Qarnî, Rabî‘ah al-‘Adawiyyah, Majnûn Banî ‘Âmir.

Nah, kepada John Austin si gila inilah saya meminjam novel Andrea Hirata terbaru, Ayah. Saya meminjamnya tepat sehari sebelum berangkat ke Yogyakarta melalui kereta api yang harga tiket kelas ekonominya amatlah mahal bagi makhluk bumi berkantong pas-pasan macam saya ini. Dan Andrea Hirata memang pencerita yang menghipnotis. 7,5 jam perjalanan Malang-Yogyakarta saya habiskan membaca separuh novel ini hampir tanpa henti, kecuali saat menyapa penumpang lain, ke kamar kecil, atau beranjak ke gerbong resto untuk menikmati nasi goreng yang harganya juga semena-mena.

Novel Ayah juga berperan sebagai penyelamat di kereta api. Bagaimana tidak, para penumpang sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri. Mereka mendengar musik pakai headset, bermain game, berkirim pesan entah kepada siapa, membuka media sosial, lalu ada yang cekikikan sendiri. Di mata saya mereka seolah sedang pamer gawai. Sedangkan gawai saya hampir tak berfungsi di atas kereta api. Saya tak bawa headset, tak memasang program game, dan tak ada koneksi internet. Tidak ada yang bisa saya pamerkan dari gawai saya. Jadilah novel Ayah di tangan saya sebagai kesenangan menghabiskan waktu tujuh jam setengah.

Omong-omong soal novel Ayah, sebetulnya Andera Hirata sedang bercerita tentang orang-orang gila. Tokoh utamanya, Sabari, adalah lelaki super lugu namun dirundung kesedihan tiada terkira, sebab ditinggal anak semata wayangnya. Dua teman karibnya, Ukun dan Tamat, tampil sebagai orang-orang bodoh yang sok pintar, namun setia kawan mengharukan. Istri Sabari, Marlena, adalah perempuan pemberontak, mudah bosan hingga pendiriannya kerap dia sesali, dan suka bertualang ke segala penjuru Sumatra, namun sebagai seorang ibu dia tampaknya tidak pernah menyesal dan mau menanggung konsekuensi hidup yang satu ini.

Singkat kata, semua tokoh yang tampil dalam novel ini adalah orang-orang dengan perangai yang ganjil, janggal, tak lumrah, bahkan bisa dibilang tidak waras. Hanya saja, keunggulan Andrea Hirata dalam bercerita adalah kemampuannya membuat alur dan plot yang sulit ditebak, seringkali kegilaan itu berwajah konyol mengundang tawa, kadang mengharukan menyesakkan dada, tak jarang malah menjengkelkan bikin gemas.

Yang istimewa dari Andrea Hirata adalah caranya bercerita: sarat humor. Berkat caranya inilah tujuh setengah jam perjalanan saya di atas kereta api seolah perjalanan yang singkat semata.

Humor yang Andrea Hirata lontarkan bukanlah humor ecek-ecek kelas begundal yang tak tahu tata krama. Semua manusia ganjil yang dia ceritakan dalam novelnya adalah orang-orang sekampung halamannya: Belitong. Pulau itu pernah berjaya dengan tambang timahnya, tapi penduduknya tak merasakan kejayaan itu. Mereka tetap saja miskin, pendidikan tak terurus, pemerintah lokal tak berdaya. Dan makhluk miskin tak berdaya itu oleh Andrea Hirata digambarkan sebagai orang-orang sinting pula. Rupanya, Andrea Hirata sedang mengolah seni menghargai hal-hal kecil: menertawakan kesusahan.

Humor tertinggi adalah menertawakan diri sendiri, kata Gus Dur dalam salah satu tulisannya. Bisa dibilang, hampir keseluruhan novel ini adalah tindakan “menertawakan diri sendiri” itu. Andrea Hirata adalah kelahiran Belitong dan dia dikenal di mana-mana sebagai orang Belitong, namun penghinaannya terhadap Belitong tergolong tanpa ampun. Sekali-sekali, Andrea Hirata melontarkan sumpah serapah. Jarang sekali dia berkata sarkas, namun sekali terucap rasanya pas sekali untuk ditertawakan.

Hingga sampailah di halaman 140 dia menyebut nama Florentino Ariza dan Fermina Daza. Dua nama ini tentu saya kenal! Keduanya adalah tokoh utama dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera. 

Sontak, saya merasa Andrea Hirata seperti sedang berusaha menjadi Gabo—sapaan akrab Gabriel Garcia Marquez—dengan novelnya. Dalam hal tertentu ada kemiripan yang tak terelakkan antara keduanya. Apa yang saya maksud dengan “kemiripan tak terelakkan” bukanlah sebentuk jiplakan murahan, melainkan semacam upaya memasuki gaya menulis Realisme-Magis.

Bukan rahasia lagi, Gabo adalah penulis Realis-Magis kawakan. Gaya penulisannya amat terkenal hingga menjadikannya sebagai ikon tak terpisahkan darinya dan dia menjadi sangat berpengaruh dalam jagad sastra terkini. Apa yang khas dari Realisme-Magis ini adalah absurditasnya dalam bergambarkan dunia dan seisi makhluk-makhluknya.

Dalam novelnya yang lain, One Hundred Years of Solitude, Gabo menggambarkan Kolumbia, Negara asalnya, dengan absurditas yang tak tanggung-tanggung. Tokoh-tokohnya memiliki perangai yang membingungkan, sering bikin keputusan ganjil, dan dalam kadar tentu tergolong sinting. 

Namun, Gabo tidak sedang main-main dengan cara penggambaran begitu terhadap negaranya. Dia sebetulnya ingin keluar dari penggambaran yang tampaknya rasional dan  normal, namun sebetulnya dipaksakan oleh bangsa-bangsa luar—terutama negara-negara Barat. Tak ayal, gaya Realisme-Magis sebetulnya adalah suatu dobrakan, perlawanan terhadap definisi yang dibikin oleh bangsa penjajah.

Novel Ayah saya lihat membawa semangat ini, dengan metode yang sama pula. Namun, Realisme-Magis yang Andrea Hirata bawa seolah tidak tuntas. Andrea Hirata tampaknya ingin menjadikan cerita Marlena sebagai “perempuan khas Realisme-Magis”—para perempuan gila yang terlunta diterpa nasib serba malang, namun mampu menghadapinya dengan tegar dan dengan cara yang sangat terhormat, jauh lebih bermartabat ketimbang para lelaki. Coba bandingkan bagaimana Marlena menyikapi kehidupannya dengan karakter lain dalam novel Ayah ini, meski sama-sama bertubi diterpa kemalangan namun Marlena tampak lebih tegar, bermartabat, dan memancarkan Elan Vital. 

Dalam novel Realisme-Magis, sosok perempuan seperti ini seakan menjadi salah satu bumbu wajib. Di One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez, Big Breasts and Wide Hips-nya Mo Yan atau My Name is Red-nya Orkhan Pamuk, misalnya, tampil para perempuan yang memiliki karakter demikian dan mampu menjadi penyeimbang dari cerita para lelaki yang sangat lemah dan tak bisa diandalkan. Perempuan-perempuan ini terkadang mengambil keputusan yang sangat menentukan. Namun cerita Marlena dalam novel Ayah seolah terhenti di tengah jalan, tak tamat dia berperan sebagai perempuan Realis-Magis.

Dalam novel Realisme-Magis juga akan ditemukan beberapa bocah yang jiwanya lebih dewasa bahkan ketimbang orang tuanya sendiri. Andrea Hirata seolah ingin menampilkan sosok Zorro, anak semata wayang Sabari, sebagai karakter ini. Zorro digambarkan sebagai bocah yang mampu menyesuaikan diri dan bersikap waras di tengah kegilaan orang-orang dewasa sekitarnya. Dia tidak pernah mengeluh, tapi sangat handal mengarungi hidupnya.

Di Indonesia, terdapat seorang novelis lain yang juga menulis dengan gaya Realisme-Magis. Namanya Eka Kurniawan. Novelnya berjudul Cantik Itu Luka. Sayangnya, hingga kini belum saya baca. Barangkali, membandingkannya dengan novel Ayah akan menarik, semacam membandingkan kegilaanlah.[]

Saturday, December 26, 2015

Membangun Idealisme

Oleh: Muhammad Zeini

Jhon, bukan nama sebenarnya, sudah lama bercita-cita untuk menjadi seorang sastrawan. Namun, menurut orang tuanya, pekerjaan sebagai sastrawan tidak akan mampu memberikan uang yang cukup untuk hidup dan bahkan akan sulit mendapat pekerjaan. Maka, mereka menghalangi cita-cita anaknya tercinta tersebut. Jhon pun akhirnya menekuni pendidikan di bidang lain, dan mengalami banyak kesulitan karenanya.

Cerita yang seperti begitu banyak terjadi di masyarakat kita di Indonesia. Orang harus menyerahkan mimpinya, atau ide tentang masa depannya, karena tekanan lingkungan. Dengan proses ini, dua hal kiranya dirugikan. Indonesia kehilangan calon sastrawan berbakat di masa depan di satu sisi, dan Jhon, dan ratusan ribu pemuda lainnya, harus hidup tidak bahagia, karena mengingkari panggilan hidupnya. Dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan dalam tiga analisis yang mungkin bisa kita jadikan refleksi bersama, yaitu:
Idealisme dan Visi
Setiap orang pasti punya ide tentang hidup macam apa yang akan dijalaninya. Dalam arti ini, setiap orang adalah idealis. Artinya amat sederhana, orang perlu untuk hidup sejalan dengan ide yang telah dipilih dan dipikirkannya. Ia bukanlah pemimpi yang tak punya tujuan, melainkan sebaliknya, orang yang memiliki visi tentang hidupnya dan hidup orang sekitarnya di masa depan. Visi radikal tentang hidup semacam inilah yang sekarang ini amat kurang di Indonesia. Orang hidup sekedarnya. Orang bekerja seadanya, tanpa ambisi untuk mencapai sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan untuk lingkungan sekitarnya. Lalu, orang mati, tanpa meninggalkan jejak dirinya yang nyata dan bermakna untuk lingkungan sekitarnya.

Ketika orang memiliki idealisme yang kuat, ia juga akan memiliki visi yang kokoh. Visi yang kokoh ini akan menuntunnya di dalam setiap perjalanan hidup. Visi yang kokoh ini juga akan membuatnya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan hidup yang kerap kali mencekik begitu kuat. Dengan visi ini, orang bisa melampaui dorongan-dorongan negatif dari dalam dirinya, dan berusaha mewujudkan diri terbaiknya.

Korupsi dan Krisis Idealisme
Sebaliknya, tanpa visi yang jelas, tanpa idealisme, orang tidak punya fokus dalam hidupnya. Hari ini, ia banker. Besok, ia guru. Lusanya, ia menjadi sastrawan. Akhirnya, ia tidak menjadi apa-apa dalam hidupnya. Ketika ia sadar akan hal ini, kubur sudah menanti di depan mata. Tanpa visi yang jelas, orang akan mudah tergoda oleh korupsi. Tanpa idealisme, orang akan mudah menyuap dan disuap, sambil merugikan banyak orang lainnya. Penegak hukum tanpa idealisme akan berubah menjadi preman yang berseragam. Guru tanpa idealisme hanya akan berubah menjadi tukang tes tanpa visi yang menyiksa batin anak didiknya.

Pejabat publik tanpa idealisme akan berubah menjadi koruptor yang memakan uang rakyat. Orang tua tanpa idealisme akan berubah menjadi semata penyedia makan, pakaian, dan rumah, tanpa pendidikan nilai yang membuat anaknya menjadi manusia yang utuh. Pekerja tanpa idealisme hanya akan menjelma menjadi mesin-mesin tanpa ide dan kreativitas. Tanpa visi dan idealisme, manusia tidak akan menjadi manusia, melainkan seonggok daging yang bernapas dan berjalan di atas permukaan bumi.

Membangun Idealisme
Pendidikan jelas merupakan alat paling jitu untuk membangun dan mengembangkan idealisme suatu bangsa. Walaupun memiliki peran amat penting, sekolah formal tidak bisa dijadikan satu-satunya penggerak pendidikan. Pendidikan yang tertinggi dan terutama adalah teladan hidup langsung dari orang-orang yang sudah ada sebelumnya. Bourdieu, seorang filsuf Prancis, berulang kali menegaskan, bahwa tindakan jauh lebih kuat dari kata-kata, dan itu paling jelas di dalam pendidikan moral.

Sulit membuat pendidikan anti korupsi, ketika hampir semua golongan tua di Indonesia melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme setiap harinya, seringkali tanpa disadari. Sulit mengajak bangsa ini untuk memiliki nilai moral tinggi, ketika nyaris semua golongan tua hidup untuk menipu dan meraup kekayaan, seringkali dengan cara-cara yang biadab. Sulit mengajak bangsa ini untuk jujur, ketika guru mengajarkan siswanya untuk menyontek saat ujian nasional. Jelaslah, teladan hidup dari orang-orang yang sudah hidup sebelumnya memainkan peranan amat penting dalam pemberadaban bangsa.

Sebagai bagian dari idealisme, visi tak akan pernah utuh menjadi kenyataan. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mendekati visi tersebut, walaupun tak pernah bisa identik sepenuhnya. Itulah sebabnya, di dalam kata idealisme terdapat kata ide, karena itu adalah harapan dan visi, yang perlu terus dikejar sepanjang hidup, walaupun tak bisa direngkuh sepenuhnya.[]
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top