Tuesday, November 8, 2016

Artificial Intelligence (AI)

artificial

Oleh: Muhammad Ilyas

Pagi yang cerah itu saya dibangunkan oleh teman seperjuangan, yaitu Stuart Russel dan Peter Norving. Mereka pagi-pagi mengetok pintu dan menyapa “selamat pagi” (dengan logat Amerikanya). Saya tak menyangka mereka membangunkanku di saat aku masih lelah dengan rutinitas sehari-hari. Mereka masuk kamar, dan duduk di pojok ruanganku yang sempit. Tanpa dipersilakan mereka mengambil air galon isi ulang itu lalu meminumnya.

Tapi jangan salah persepsi dulu. Kedatangan mereka ke kos ini bukan membahas masalah geopolitik atau suksesi calon Presiden AS, apalagi propaganda tentang pil KB (maksud saya Pilkada). Atau malah timses Donald Trump. Sungguh bukan, bukan itu yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Apalagi kegiatan suksesi calon melalui perdebatan Ayat Al-quran. Atau mengangkat isu SARA, dan isu-isu yang sangat tak mendidik masyarakat itu.

Cak Stuart Russel dan Peter Norving, kedua sahabat ini mengajak saya ke salah satu tempat nongkrong asyik di Yogyakarta. Berbeda dengan mas-mas bule lain yang biasanya ngajak nongkrong di Starbuck, atau J. CO dan nama café asing lainnya, saya diajak ke pinggiran warung kopi di Parangtritis, tempat yang begitu elok dan indah untuk menyeruput secangkir kopi Arabica, nikmat dengan pemandangan laut dari ketinggian bukit yang memanjakan jiwa. Apalagi dibarengi dengan sun set yang dihalangi kabut tipis barat, sungguh luar biasa.

Cak Stuart Russel dan Peter Norving memulai perbincangan tentang Artificial Intelligence (AI). Wah, pembahasan yang cukup berat ini (gumanku dalam hati). Yah begitulah para ilmuwan dari negeri Paman Sam memberikan istilah yang sekiranya dianggap berat. Padahal istilah tersebut biasa-biasa saja, tak ada beratnya, mungkin masih berat isu SARA yang tak henti hentinya, apalagi masalah kepentingan politik menumpang di punggung isu agama, sungguh berat dan membuat kacau keadaan sosial. Belum lagi efek yang nantinya akan diderita masyarakat bawah. Duh, politikus atas angin yang jauh dari realitas dan tak punya niat untuk memberikan pendidikan politik (civil education).

Maaf, maaf, maksud tulisan ini bukan propaganda politik. Saya tegaskan lagi bukan propaganda politik, tetapi menyinggung tentang Psikologi yang disampaikan oleh Cak Stuart Russel dan Peter Norving. Dalam Artificial Intelligence (AI) terdapat empat prinsip yang harus dimiliki setiap insan agar bisa memilah dan memilih serta dasar bertindak dalam setiap apa yang ia lakukan. Pertama adalah acting humanly. Jadi sebagai manusia harus bertindak sebagaimana manusia bertindak. Manusia diberi alat indera yang lengkap, mulai dari mata, telinga, peraba, hidung dan lidah. Alat indera tersebut tidak akan berbohong pada diri manusia, misalnya garam akan ditangkap oleh lidah dengan rasa asin. Suara seruling akan ditangkap oleh indera kita sebagai suara seruling. Tidak terbayangkan jika indera berbohong pada kita, garam direspon sebagai rasa manis, sedangkan gula direspon sebagai rasa pahit, suara seruling direspon sebagai suara gendang. Pasti ada kekacauan yang terdapat dalam tubuh kita. Jangan seperti para politisi kita yang menjalankan sesuatu tidak pada jalurnya, sesuatu yang asin dibilang manis, dan yang manis dibilang pahit, merah dikatakan hijau, 2 Milyar dibilang 1 Milyar, cantik dibilang jelek dan jelek dibilang semerbak, serta serba membingungkan masyarakat.

Yang kedua adalah thinking humanly. Dengan the cognitive modelling approach manusia mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di bumi ini, yaitu akal. Sebagai anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita seharusnya kita berpikir sebagaimana manusia berpikir. Manusia yang normal tidak hanya berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan perutnya saja, melainkan berpikir yang lebih dari sekadar itu. Jika hanya berpikir untuk kepentingnnya sendiri maka bisa dikatakan lebih rendah daripada hewan. Semut saja bergotong-royong untuk kepentingan bersama, masak kita enggak?

Tapi beda dengan koruptor kita yang tidak thinking humanly, kehidupannya dipenjara penuh dengan berbagai fasilitas. Negara kita memberikan ruang bergerak yang lebih bagi meraka yang tak berpikir sebagai manusia dan menyudutkan mereka yang betindak sebagai manusia.

Yang ketiga adalah thinking rationally. Berpikir saja tidak cukup tetapi harus rasional. Alur berpikir harus runtut dan sistematis, sehingga membentuk pola. Hal ini berbeda dengan para politisi kita, mereka terlalu rasional, sehingga sesuatu yang belum terjadi sudah diramalkan menurut kepentingannya. Dan saking rasionalnya membuat publik mengernyitkan dahi.

Yang keempat adalah acting rationally. Kalau Mas Pram pernah berkata, “Bersikap adillah sejak dalam pikiran,” maka Cak Stuart Russel dan Peter Norving berkata, “Thinking rationally saja belum cukup, harus ada acting rationally sebagai bentuk manifestasi dari apa yang dipikirkan.”

Tak terasa hari sudah larut malam. Cak Stuart Russel dan Peter Norving sudah mulai mengantuk di meja kopi. Muka mereka menunjukan lelah, dan ada bau pesimis mendalam terhadap empat ide yang digagas tersebut. Ia seakan tidak akan yakin hal ini bisa diterapkan di Negara Berkembang seperti Indonesia, karena terdapat dua alasan. Pertama, kita terlalu terbuka, sehingga semua masuk tanpa filter. Yang kedua, kita terlalu tertutup dan tidak mau unsur-unsur dari luar.[]

Sumber foto: artificial

Thursday, October 27, 2016

Tentang Rohim, Tentang Keabsurdannya

the ice chapel

Oleh: Abdurrahman Wahid

Setelah sekian purnama tak muncul, Rohim Warisi datang dengan sorotan mata yang tajam. Gelak tawanya yang penuh intrik menanggapi ucapan selamat datang. Ya, sosok lelaki absurd nan fiktif itu masih sama seperti perjumpaan seribu hari yang lalu.

Sehari sebelumnya, ia mengirim selarik pesan singkat pada saya. Tak ada tanda-tanda ia bercanda dalam pesannya. Melalui kata-kata itu ia menyampaikan hendak berkunjung ke Jogja. Namun, saat itu, saya tetap tidak langsung percaya dengan apa yang disampaikannya.

Mungkin tidak hanya saya, semua orang yang pernah mengenalnya juga akan berpikir selayaknya saya. Ya, lelaki pengagum penulis Cinta Tak Pernah Tepat Waktu itu memang sulit diterka ucapannya. Bahkan, kalau boleh jujur, ia adalah orang yang dalam berbicara sering tidak apa adanya.  Wajar, jika semua teman-temanya menganugerahkan dia sebagai sosok yang fiktif. Apa yang ia katakan hanyalah rangkaian yang dibuat seindah mungkin untuk membohongi orang sekitarnya.

Maaf, bukan tanpa alasan saya berkata demikian. Terlampau banyak sudah yang bisa saya sajikan. Tapi, biarlah, toh ndak penting membicarakan Rohim dengan serius. Ya, terlalu berharga waktu ini jika kita gunakan untuk membicarakan dia yang dalam kesehariannya dipenuhi dengan ketidakseriusan.

Saya sengaja menuliskan pertemuan ini. Rohim, jangan kepedean dulu ya, jangan berpikir bahwa dirimu adalah orang penting. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa dirimu tidak banyak berubah. Dirimu masih seperti dulu. Semoga saja istirmu tidak seperti saya dalam memahamimu. Bagaimanapun, dia adalah orang yang ikhlas karena sudah mau menjadi makmum dari lelaki absurd macam kamu.

Tapi, harus saya akui juga, seabsurd apapun dirimu, sefiktif apapun ucapanmu, saya tetap menganggap dirimu sebagai teman yang baik sekaligus unik. Bahkan, dalam hal-hal tertentu, dirimu sudah saya anggap sebagai suhu. Ya, menurut saya, dirimu layak disebut sebagai pertapa yang memiliki pengikut tak terhitung jumlahnya.

Tentu kamu masih ingat, jamaah semut yang pernah kau pimpin. Atau segerombolan orang yang telah kau ajari bagaimana indahnya mem-bully orang lain, eh. Mungkin sekarang, dirimu sudah punya jamaah baru dalam duniamu. Kabarnya, dirimu sudah terlibat dalam pertempuran klan-klan. Sebagai teman, saya berharap dirimu menjadi energi positif di klan barumu itu.

Beberapa Obrolan Itu
Meski tidak lama, kunjungan Rohim ke Jogja telah membekas dan tentunya masih fiktif seperti dahulu kala. Oh iya, waktu rohim sampai, Jogja langsung diguyur hujan deras. Him, lihat Jogja bersedih karena kamu kunjungi lagi. Terlalu banyak sudah persolaan fiktif di kota ini, masih saja kau bebani dengan kefiktifan lama dengan bingkai baru.

Perbincangan awal, kita bernostalgia saat masih bersama-sama di Jogja. Mulai dari bahagia, hingga duka yang teramat sangat. Saya masih ingat betul, saat pertama kali ke Jogja dengan hanya berbekal bonek. Saat itu, melalui uang pinjaman dari temannya, Rohim berusaha menjadi bos kecil dari usaha bersama.

Dengan modal seadanya, akhirnya kita putuskan untuk menjual gorengan. Nanti, hasilnya dibagi dua. Dengan kegembiraan dan bayangan keuntungan yang luar biasa, saya beber lapak gorengan itu di depan fakultas. Lalu-lalang mahasiswa saya jadikan tempat strategis untuk menawarkan gorengan dari usaha kita. Lumayan, meski tak terjual habis, tapi cukup banyak yang terjual.

Tapi, satu hal yang perlu diketahui dari bisnis gorengan ini. Setelah pulang kuliah, kala sore hari, kita kumpul dan mencoba menghitung hasil dari penjualan gorengan. Terkejut, hasil yang didapat tidak sesuai dengan gorengan yang habis terjual. Sepertinya, teman-teman pada ramai mengambil namun lupa membayar. Karena saya yakin, mereka tak ada niat untuk mengambil gorengan yang saya jual.

Begitu seterusnya, entah berlanjut sampai berapa hari. Seingat saya, usaha itu tidak sampai satu minggu. Dan kami memutuskan untuk mengakhirinya. Ya, “usaha ini tidak cocok dengan kita,ucapnya kala itu.

Akhirnya, setelah gagal berbisnis gorengan. Kami putuskan untuk menjadi marbot di masjid. Tidak banyak alasan penting kenapa harus berdiam di masjid, kecuali untuk mendapat fasilitas gubuk gratis dan seperengkat lainnya. Setidaknya, di Jogja kami tidak tidur di pinggir jalan. Begitulah kira-kira.

Permasalahan hidup di Jogja, sedikit telah teratasi. Meski harus menempuh jarak 53 menit jalan kaki untuk sampai ke kampus, setidaknya ada tempat tinggal untuk sekadar melepas setiap keletihan. Singkat cerita, kira-kira sekitar sembilan bulan, kami kemudian memutuskan keluar dan menghadapi kehidupan yang tak kalah getirnya.

Jika mengingat kejadian bersejarah ini, tentu saja Rohim adalah suhu. Sebagaimana saya sebut di atas, dalam hal-hal tertentu.

Selepas membincangkan kisah masa lalu, saya tawarkan dia untuk berbaring di gubuk sederhana. Dengan gayanya, dia menolak. "Saya itu sewa hotel, dan sudah saya bayar." Saya rasa, semua sudah tahu bagaimana mimik Rohim kala memgucapkan kalimat semacam itu. Duh, Him, kamu memang tidak banyak berubah.

Oh, iya, sepanjang perjalanan kita mencari tempat makan, Garnasih menjadi tema obrolan utama. Banyak hal yang ia ceritakan tentang sosok aktivis perempuan tersebut. Dan, saya rasa, tidak perlu disampaikan apa yang kami bicarakan. Tak elok, dan sungguh akan mengundang ketegangan sosial sekitar.

Em, apalagi yang ia bicarakan persoalan cerita yang ia buat sendiri. Sebuah kejadian, entah nyata atau tidak, tentang Garnasih dan rupa warna kehidupannya. Begitulah, ia bercerita. Bahkan cerita itu berlanjut sampai malam hari, saat kami memutuskan untuk bertemu di warung kopi.

Selebihnya, ia bicara tentang bisnis yang hari ini digeluti. Tidak tanggung-tanggung, layaknya para pakar, ia sudah berbicara jauh ke depan, tentang puluhan tahun yang akan datang. Dengan bisnis barunya itu, ia sudah membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan sejauh pengamatan singkat saya, ia akan menjadi penguasa di daerahnya. Khususnya, di usaha yang tengah dikelolanya. Selamat, Him. Semoga ini menjadi langkah awal kesuksesanmu di masa depan.

Dan terakhir, keabsurdan dan kefiktifan Rohim kembali muncul. Tanpa kabar, dia tiba-tiba pulang. Padahal, katanya, di Jogja dia masih beberapa hari lagi. Begitulah, bukan Rohim kalau tidak menghadirkan ketidakmungkinan dan keabsurdan dalam setiap perjumpannya. []

Sumber gambar: Marie and Allstair knock

Monday, October 24, 2016

Menggagas Ma'had Aly Di Desa Ganjaran

cambridge_university

Oleh: Muhammad Madarik

Sebagaimana sudah dimaklumi banyak pihak, desa Ganjaran merupakan lumbung ilmu pengetahuan. Selain lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga pendidikan formal, di desa Ganjaran terdapat berbagai pesantren.

Ada perbincangan seorang kawan yang mengutarakan sebuah wacana relevan tentang kemungkinan di desa Ganjaran dilahirkan Ma'had Aly untuk para santri dari beberapa pesantren di desa yang pernah disebut "mercusuar ilmu" oleh alm. KH. Qosim Bukhori itu. Saat itu, penulis menjawab dengan nada sekenanya: "Bagus itu." Kawan tersebut manggut-manggut disertai ekspresi datar. Penulis tidak begitu paham apa makna di balik raut wajah kawan itu, menanggapi respon penulis yang juga tanpa arti.

Tetapi memperbincangkan wacana tersebut lebih serius agaknya cukup signifikan untuk waktu-waktu ke depan  mengingat desa Ganjaran, setidaknya dalam analisa sementara penulis, telah memenuhi syarat menjadi wadah jenjang pendidikan tinggi kalangan pesantren itu. Keterpenuhan syarat desa Ganjaran dilihat dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul di tempat itu. Tentu saja, tulisan sederhana ini hanya telaah awal yang dapat dipastikan tidak berkecukupan memutar kunci pintu penyelenggaraan "proyek besar" yang terlontar dari sekadar perbincangan antar sahabat, selanjutnya terserah "takdir."

POTENSI KUANTITAS
Ma’had Aly pada dasarnya adalah lembaga pendidikan tinggi yang sepenuhnya dirancang dan dikelola oleh masyarakat. Basis Ma’had Aly tidak lain adalah pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya, Ma’had Aly selama ini dibiarkan dan diberi kesempatan berkembang atas dasar kemauan dan kesanggupan para pengelolanya. Di satu sisi, hal ini menunjukan fleksibilitas pesantren yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhannya sendiri untuk mencetak generasi berilmu dan berkualitas.

Sedangkan jumlah lembaga pendidikan pesantren di desa Ganjaran, sebagaimana diketahui banyak pihak, terdapat 18 pesantren dengan bentuk besar dan kecil. Berangkat dari sekian banyak pesantren di satu desa ini, tempat yang rata-rata penduduknya berpenghasilan tebu ini dinobatkan sebagai "desa santri" (22 Oktober 2016).

Melihat sekian jumlah pesantren di desa ini telah mencapai batas kemungkinan untuk rencana munculnya Ma’had Aly, kalau rata-rata grafik santri di masing-masing pesantren dipatok 50, lalu lulusan dari pesantren-pesantren itu kisaran jumlah10 orang X 18 pesantren, maka 180 tamatan pertahun. Jika di klaim 50% dari lulusan itu, maka angkatan pertama rencana Ma’had Aly  berjumlah 90 santri. Sebuah jumlah peserta didik dengan kondisi dua kelas pada ukuran pendidikan ideal.

Persoalan tingkat animo para santri terhadap Ma’had Aly tidak menjadi halangan berat, sebab hingga saat ini ketaatan mereka pada kiainya masih menjadi simbol tatakrama yang belum sirna. Oleh karena itu, pada kemungkinan terjelek sekalipun kiai pesantren seringkali menggunakan gaya kepemimpinan otoriternya untuk mengarahkan para santri dalam menentukan keputusan mereka. Sedangkan pada sisi wacana ini, pengaruh kiai terhadap santrinya merupakan salah satu modal kekuatan yang dapat dibuat pilar penyangga penyelenggaraan.

POTENSI KEILMUAN
Model pesantren di desa Ganjaran yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran salaf dengan kitab-kitab klasik sebagai rujukan utamanya merupakan secercah sinar yang bisa memberikan harapan untuk melempangkan proses wacana ini. Bentuk pendidikan demikian ini memang memiliki korelasi dengan arah pendidikan Ma’had Aly, terutama pada aspek konsentrasi pendidikan yang lebih menekankan pendalaman disiplin ilmu yang bersumber dari referensi kitab kuning.

Kajian-kajian kitab kuning tidak saja diselenggarakan di pesantren-pesantren lewat metode sorogan dan bandongan, tetapi juga disajikan di sekolah-sekolah formal sebagai salah satu materi pelajaran. Sejak awal dalam sejarah lembaga pendidikan formal di Ganjaran, kitab kuning telah menjadi muatan lokal (mulok) yang merupakan bagian dari anasir sebaran kurikulum pendidikan. Berkaitan dengan muatan lokal ini, beberapa kalangan masyarakat mengklaim bahwa keunggulan madrasah di desa Ganjaran terletak pada ketersajian kitab kuning dalam struktur kurikulum pendidikannya dibandingkan sekolah-sekolah lain di luar desa Ganjaran. Bahkan sebagian besar alumni dan wali siswa menjadikan pelajaran kitab kuning sebagai faktor kuat ketertarikan mereka terhadap sekolah formal desa Ganjaran.

Kajian kitab kuning di lingkungan pesantren lebih meluas lagi ketimbang di sekolah formal. Pembelajaran kitab kuning tidak saja dilakukan lewat pengajian para pengasuh atau para ustadz, tetapi lebih jauh dari itu didalami melalui musyawarah kitab kuning antar kelas di masing-masing pesantren, antar pesantren dan bahsul masail. Kegiatan musyawarah kitab kuning sudah menjadi pemandangan setiap malam di masing-masing pesantren desa ini. Sebetulnya kegiatan musyawarah kitab antar pesantren sudah pernah digalang kira-kira tahun 2005-an oleh sebuah komunitas musyawarah yang dibidani oleh Gus Nasihuddin Khozin dkk. setiap malam Ahad. Gaung musyawarah ini bergema hingga beberapa pesantren di luar desa Ganjaran berminat mengirimkan delegasinya pada rutinitas yang bertempat berpindah-pindah secara bergantian itu. Sejalan dengan waktu, kegiatan itu menyusut dan lenyap entah kemana hingga pada akhirnya muncullah Ittihad musyawarah antar ma'had (IMAM) yang digagas oleh Gus Abdurrahim Said. Program dalam IMAM sampai saat ini terus bertahan hingga memiliki anggota tidak kurang dari jumlah peserta kegiatan musyawarah sebelumnya.

Walaupun pada segi musyawarah antar pesantren mengalami pasang surut, tetapi secara umum desa Ganjaran merupakan basis kajian kitab kuning yang mampu memobilisir segenap pesantren bahkan di luar desa ini.

POTENSI INDIVIDU
Semenjak awal desa Ganjaran telah dihuni oleh orang-orang berkualitas, terlepas mereka pernah berjibaku dengan kerasnya kemungkaran yang melingkupi kehidupan masyarakat kala itu. Sebut saja di fase pertama terdapat Mbah Abdurrosyid, seorang kaya raya yang bertipe pecinta ulama, dermawan dan santun kepada siapapun, termasuk juga pada kaum buruh di bawah kekuasaannya. Dari tokoh ini kemudian muncullah KH Zainuddin, sosok alim asal Madura yang dijadikan menantu, kelak keturunan Mbah Abdurrosyid melalui kiai Zainuddin bertebaran menjelma menjadi orang-orang berpendidikan. Hampir seluruh pemegang pesantren di desa Ganjaran, PP Annur Bululawang, dan PP Babussalam desa Banjarejo memiliki tetesan darah dari Mbah Abdurrosyid. Fase kedua lahir KH Zainal Alim yang dikenal pula dengan kiai Tombu dan KH Bukhori Ismail yang berjuluk kiai Masjid. Fase berikutnya muncul KH Yahya Syabrawi, KH Qoffal Syabrawi, KH As'ad, KH Zainullah Bukhori dan masih banyak lagi di zaman ini. Di fase sekarang ini, tunas-tunas muda kalangan pesantren mulai bertebaran. Hampir semua gus-gus sudah mengambil peran di lingkungan masing-masing pesantren di desa Ganjaran dengan segala potensi yang dimiliki setiap diri mereka. Latar belakang dan kualifikasi pendidikan masing-masing mereka menambah corak regenerasi kaum pesantren kian bervariasi.

Sebagian mereka ada yang ahli di bidang manajemen pendidikan, terdapat pula yang menguasai kajian kitab kuning, lihai di dalam rumusan konsep, cerdik dalam hal penelitian, dan ada pula yang begitu tak tertandingi pada aspek hubungan dan jaringan masyarakat.

POTENSI PELUANG DAN FASILITAS
Legalitas Ma'had Aly dalam sistem pendidikan nasional telah termaktub dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 71/2015 tentang Penyelenggaraan Ma'had Aly. Pada dasarnya Ma'had Aly adalah satuan pendidikan yang didirikan dan dikembangkan dari dan oleh masyarakat pesantren dan berada di dalam dunia pesantren. Tetapi meski lahir dari rahim pesantren dan seterusnya dikelola oleh kaum pesantren, eksistensi Ma'had Aly sebagai wadah mencerdaskan anak negeri bukan hanya semata-mata diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat pesantren saja, melainkan juga untuk kebutuhan seluruh lapisan bangsa Indonesia.

Sebenarnya peluang mendirikan Ma'had Aly dari sudut birokratis cukup menganga lebar. Apalagi dari beberapa sisi, desa Ganjaran cukup prospektif untuk dibuat jaminan terselenggaranya pendidikan Ma'had Aly. Selain potensi SDM, banyak pesantren yang siap dirancang sebagai lokasi penyelenggaraan pendidikan Ma'had Aly tersedia untuk ditempati. Selama ini terdapat beberapa asrama pesantren yang  kurang berfungsi maksimal akibat penurunan grafik santri secara drastis setelah ditinggal mangkat pendirinya. Pesantren demikian ini cukup memadai untuk dibidik sebagai pusat pelaksanaan Ma'had Aly.

Bangunan kerjasama yang kokoh antara pihak pesantren dan pemerintahan desa merupakan peluang yang harus dipertimbangkan. Kalangan pesantren sebagai pengelola berperan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam setiap tahapan proses pendirian Ma'had Aly, mulai dari konsep awal, analisis kelayakan, identifikasi tenaga, berkas pengajuan sampai pada semua syarat-syarat lain. Sedangkan aparat desa dalam konteks ini diposisikan sebagai unsur penting pada aspek kewenangan-kewenangan birokratis dan mobilisasi massal. Apabila dua pihak ini dapat bersinergi dengan intens, maka sebetulnya bukan saja wacana Ma'had Aly saja yang bisa diwujudkan tetapi proyek-proyek besar lainnya juga dapat diciptakan.

Oleh karenanya, pada aspek proses pendirian perguruan tinggi berbasis pesantren itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

UNTUK SANTRI DI DESA SANTRI
Desa Ganjaran yang telah didaulat sebagai desa santri layak memiliki lembaga pendidikan bagi peningkatan keilmuan kalangan santri di luar lembaga tinggi yang mengajarkan disiplin ilmu-ilmu yang bukan berbasis kitab kuning. Sebab, khas desa ini dengan sekian jumlah pesantrennya dipastikan menyimpan banyak para santri yang mempunyai kompetensi kitab kuning tingkat tinggi. Hal ini bisa dibaca dari kepiawaian mereka membaca teks Arab dengan menggunakan pendekatan gramatikalnya, kemampuan menalar makna di balik teks berdasarkan balaghahnya, dan tingkat kecerdasan mereka menginterpretasikan konten kitab kuning melalui perangkat ushul fiqhnya. Bukan saja perdebatan mengenai tata cara baca teks yang sudah dikerjakan para santri di pesantren-pesantren desa Ganjaran, tetapi lebih jauh dari itu diskusi yang bergulir dalam berbagai kegiatan musyawarah dan bahsul masail telah masuk taraf identifikasi persoalan kemasyarakatan (masail waqi'iyah) dan pengambilan keputusan hukumnya (istimbatul ahkam).

Berbagai kelebihan kaum santri di desa Ganjaran ini merupakan bagian dari corak desa santri yang perlu diunggulkan. Oleh karena itulah, munculnya wacana pendirian Ma'had Aly di desa santri ini perlu mendapat respon dari semua pihak. Keterlibatan segenap kalangan, mulai dari para tokoh sepuh, kaum muda pesantren, jajaran pemerintahan desa, dan masyarakat, atas dasar kebersamaan wajib terwujud sebagai prasyarat untuk membuat nyata wacana tersebut. Jika prasyarat ini dapat diejawantahkan dalam bentuk komitmen bersama, maka problematika selanjutnya akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Contoh kecil misalnya, jika program ini di bawah kendali satu pesantren, maka dikhawatirkan pesantren lain merasa enggan untuk melibatkan diri dalam setiap tahapan prosesnya. Namun apabila wacana program ini diusung dengan mengatasnamakan "desa santri," maka secara otomatis sekat-sekat itu akan dimusnahkan oleh rasa kepemilikan bersama. Sebab itulah, jargon yang butuh ditabuh adalah "Untuk Santri di Desa Santri," dengan harapan sekat fanatisme masing-masing pesantren bisa terkelupas oleh semangat kolektifitas memajukan desa santri.


Wallahu a'lam bi al-Shawab.[]

Sumber gambar: caffeinehit

Monday, October 10, 2016

MUSA DAN KHIDIR


MUSA DAN KHIDIR
Em Yasin Arief
*Untuk memperingati haul ke-13 KH. Dimyathi Bukhori

I
Seketika melesat sosok bayangmu ada
Berkilauan dalam lubuk ingatan
Memecah sunyi sepertiga malam
Barangkali kau sedang duduk di sampingku
Rebahkan punggung
Sembari menaruh tangan di pundakku

Kita memang lama tak duduk bersama
Bertukar pikiran membincang makna
Sejak kau pamit berangkat ke tepian sorga
Meninggalkan pusaka jejak langkah
Mewariskan selaksa tanda tanya
Belasan tahun
Kau tak pernah enyah dari ingatanku
Meski kau terlalu cepat berangkat
Ketika diriku masih naif dan belia

II
Masih ingatkah kala itu?
Kau adalah Khidir dan aku Musa
Tatkala kita menyusuri jalan-jalan bebatuan
Isi kepalaku padat rasa heran
Seraya mengekori runut langkah kakimu
Dari belakangmu aku menikam tanya:
"Mengapa kau rajin mengunjungi gubuk orang-orang miskin?"
Dalam kikuk bimbangmu
Kau lontar beberapa patah jawab:
"Mereka yang tak banyak harta
Tak punya sifat angkuh di dadanya
Alangkah berungtung manusia
Yang hatinya tak terjangkit penyakit jumawa
Bukankah ternyata mereka tuan-tuan kita
Bila yang kita emis hati yang kaya raya?"

Aku masih terlampau ingin bertanya:
"Mengapa kau berteman dengan orang yang meninggalkan shalat dan berbuat maksiat?"
Dalam bingung ragumu
Kau menyambiti pertanyaan keduaku:
"Kegelapan tidak bisa menerangi kegelapan
Hanya cahaya yang bisa menerangi
Mengutuk kegelapan, kegelapan itu sendiri
Yang aku tahu
Sebaik-baik manusia
Adalah yang saling menyinari sesama
Saling mengarak cahaya menuju samudera cahaya Sang Maha Cahaya
Cukup Tuhan yang maha benar dan bijaksana
Dialah hakim atas segala tindakan manusia
Bukan manusia."

Laksana Musa yang ceriwis
Sekali lagi kurajami dirimu dengan kata-kata tanya:
"Kau ini Ulama, kan?
Mengapa kau enggan bila orang menaruh takzim kepadamu?
Kau tak mau orang menciumi tanganmu
Kau tak senang bila ada yang membungkuk-bungkuk di depanmu
Mengapa kau tak ingin dirajakan?
Bukankah itu hakmu?
Bukankan di sana orang berlomba-lomba menginginkan derajat itu?"
Dalam kelimpungan buncahmu
Kau mendindingi raut wajah yang gelagapan dengan tawa yang canggung
"Ha Ha Ha
Kau ini pandai sekali berkelakar
Aku, Ulama katamu?
Yang benar saja!
Gelar itu hanya untuk para pewaris Nabi
Tentu Nabi tak mewariskan apa-apa
Melainkan Iman dan keteladanan sifatnya
Aku mengaku umat Nabi saja belum merasa pantas
Apalagi menganggap diriku Ulama."

Mulutku bungkam
Dalam hatiku bergumam
"Bukankah orang baik memang yang tak pernah merasa dirinya baik?
Justru yang membusungkan dada
Seraya berkata "aku ini orang paling baik"
Sejatinya dia bukan orang baik."

III
Tak bisakah sekali saja
Kita mengulang hari itu?
Akan kuminum bening mata air sufimu
Akan kuarungi luasnya laut rendah hatimu
Akan kujelajahi belantara hutan keikhlasanmu
Bila memang tak bisa
Akan kusimpan baik-baik warisan jejak langkahmu


- Malang 08 Oktober 2016
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top