Oleh: Muhammad Zeini
Ada satu pola menarik di
dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru adalah orang-orang yang
hidup dalam bayang-bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa
bermoral tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah.
Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan memperbudak
penduduknya sendiri untuk membangun Piramid. Orang-orang Yahudi
mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. Namun, mereka yang menyalibkan Yesus,
tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kekaisaran Ottoman Turki mengaku
bermoral dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke berbagai
penjuru negara Timur Tengah.
Eropa mengaku sebagai benua
yang beradab dan bertuhan. Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak
bangsa selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral yang
tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-orang Yahudi di
masa perang dunia kedua. Amerika Serikat mengaku bangsa yang
bermoral dan bertuhan. Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak
pembantaian massal di berbagai penjuru dunia di abad 20. Kini, para teroris
dengan pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai
penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.
Mengapa ini terjadi? Mengapa
orang-orang yang mengaku bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku
kejahatan-kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber
dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas
bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan itu
sendiri.
Moralitas adalah pertimbangan
baik dan buruk. Apakah suatu tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk?
Keputusan apa yang baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan
terkait dengan moralitas. Kita juga seringkali menggunakan
pertimbangan moral dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup.
Apakah pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya?
Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?
Satu hal yang pasti adalah,
bahwa moralitas adalah pertimbangan pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran
manusia. Ia tidak ada secara nyata dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari.
Moralitas bukanlah kenyataan alamiah. Apa itu kenyataan
alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah tidak memiliki konsep atau kata untuk
menjelaskannya. Ia adalah “sesuatu”. Para filsuf Eropa menyebutnya sebagai “Ada” (Being, Sein, to
on). Para mistikus India menyebutnya sebagai “Diri” (the Self). Namun, sejatinya, ia tak bisa dijelaskan
dengan kata-kata.
Lalu, mengapa moralitas itu
berbahaya? Moralitas, seperti saya jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan
baik dan buruk. Jika sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka
orang akan menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral,
maka orang akan mengikutinya. Namun, hidup tidak sesederhana itu.
Apa yang buruk biasanya memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah
yang sekarang ini banyak terjadi.
Ketika orang melakukan yang
buruk, maka ia akan memperoleh kenikmatan sementara. Namun, semua itu akan
berakhir pada penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, karena ia
telah bertindak jahat. Tindakan tersebut telah menyakiti dirinya dan orang
lain. Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil
pada awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan tenggelam
di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dan kebohongan
yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup dalam penderitaan. Sebaliknya, ketika orang bertindak baik, maka ia akan berusaha untuk
mempertahankan tindakannya tersebut. Ia lalu melekat dan terikat dengan
tindakan tersebut. Ia tergantung secara emosional dengan tindakan itu. Dalam
perjalanan waktu, tindakan baik itu menghasilkan banyak tegangan batin di dalam
dirinya.
Tegangan batin, pada
akhirnya, akan menghancurkan tindakan baik tersebut. Yang muncul kemudian
adalah perasaan bersalah, karena orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan
baik itu. Orang merasa munafik atau justru menjadi orang yang munafik. Ia
justru malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran,
banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru adalah orang yang
memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius. Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami ketenangan batin
pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia tidak bisa jujur setiap saat dan
setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu berbohong, seringkali dengan alasan-alasan
yang masuk akal. Orang yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan
berbohong juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat
dalam pada orang tersebut.
Jadi, tindakan buruk
menghasilkan tegangan dan penderitaan. Tindakan baik juga menghasilkan
ketegangan dan penderitaan. Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam
batin. Dari tegangan, penderitaan dan ketakutan batin tersebut, orang justru
malah menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti
lingkaran setan yang tak bisa diputuskan. Moralitas menghasikan
semacam keterpecahan kepribadian di dalam diri manusia. Ia terbelah antara
harapan tentang dirinya sendiri, dan keadaan nyata di depan matanya tentang
dirinya sendiri. Moralitas menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran
manusia. Ia memiliki fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk
menjadi tidak bermoral.
Sayangnya, kita seringkali
menggunakan pertimbangan moral di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral,
dan tindakan yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin.
Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak kuat
menanggung tegangan dan penderitaan batin tersebut. Mereka justru menjadi orang
yang paling kejam. Maka, menurut hemat saya,
moralitas itu berbahaya. Ia mencoba menyelesaikan sebuah masalah dengan
menciptakan masalah-masalah baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru
bertindak kejam terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari
tegangan dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu
sendiri.
Indonesia mengaku sebagai
negara bermoral dan beragama. Semua orang berteriak soal moral dan agama.
Namun, korupsi dan kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan
kebencian mewarnai hidup bermasyarakat kita. Kita pun gemar menghukum mati orang-orang
yang kita anggap tak layak hidup. Ini contoh yang amat pas untuk menggambarkan
bahaya dari moralitas yang justru menghasilkan kemunafikan dan kekejaman.
Yang jelas, kita membutuhkan
panduan lain dalam hidup kita, selain moralitas. Kita membutuhkan pijakan lain
untuk membuat keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali
justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas adalah
sesuatu yang harus dilampaui. penulis menawarkan
panduan lain, yakni kejernihan berpikir. Pertanyaan yang harus diajukan
bukanlah “Apakah ini baik atau buruk?”, melainkan “Apakah ini lahir dari kejernihan
berpikir, atau tidak?” Pikiran yang jernih berarti lepas
dari pertimbangan baik dan buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan
untung dan rugi.
Pikiran yang jernih bersifat
alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri manusia, dan bukan dari pertimbangan
akal budi, baik-buruk atau untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi
nyata. Ia bersikap tepat pada setiap keadaan yang terjadi. Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang jernih
menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada situasi di sini dan saat
ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Bagaimana melahirkan kejernihan
berpikir? Caranya sederhana, berhenti
melakukan analisis dan berhenti berpikir! Lakukan apa yang
mesti dilakukan di sini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah dari
saat ke saat. Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung
pada konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain adalah tindakan
yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk mempertahankan diri dan
keluarga dari serangan perampok adalah tindakan yang juga lahir dari kejernihan
berpikir. Membunuh dan berbohong adalah tindakan yang jernih, jika dilakukan
secara tepat pada keadaan-keadaan tertentu.
Ketika pertimbangan akal budi
masuk, maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan baik dan buruk,
maka kejernihan hilang. Ketika orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka
kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan terus
mengalami ketegangan di dalam hatinya. Ia seperti hidup
dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Hal yang sama terjadi
dengan orang yang selalu sibuk melakukan pertimbangan untung dan rugi di dalam
hidupnya. Hidupnya tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu,
ia bisa bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.
Moralitas melahirkan
ketegangan. Ketegangan mendorong sikap agresif. Sikap agresif lahir bisa
diarahkan pada orang lain, atau pada diri sendiri. Selama orang masih melekat
pada moralitas, selamanya ia akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan
penderitaan hidup. Jalan keluar dari masalah ini hanya satu yaitu kejernihan berpikir. Orang yang hidup dengan
kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, tetapi juga menemukan
kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam batinnya. Ia keluar dari lingkaran
setan kehidupan yang dibangun oleh moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah
jernih?[]
sumber gambar: kaelanunrau.com