Oleh: Muhammad Madarik
Ketika penulis menyaksikan mulai banyak para penuntut ilmu terbuai
dengan pengaruh-pengaruh yang terjadi di luar konteks belajar, maka muncul
dalam benak penulis untuk menggores tinta, lalu menyusun kata-kata yang,
setidaknya, menggambarkan kondisi itu. Puisi ini secara khusus membidik kaum
pesantren yang tengah bergelut dengan ilmu pengetahuan di penjara suci. Kenapa
para santri yang menjadi sasaran puisi ini ? Minimal ada dua alasan yang bisa
dikemukakan oleh penulis. Pertama, selama ini, dalam pandangan Nurcholish
Madjid, pesantren masih dianggap sebuah lembaga pendidikan yang lebih
indigenous, asli Indonesia dan berakar kuat di masyarakat. Kedua, di tengah
keberadaan pesantren yang dikenal sebagai benteng terakhir pembinaan akhlak
bangsa karena tetap survive dengan pendidikan moralitasnya, ternyata perilaku
sebagian anak-anak santri sudah mulai kehilangan konsistensinya. Akumulasi dua
hal ini dan ditambah dengan berbagai fakta yang seringkali ditemukan penulis
tentang gaya hidup kaum "sarungan" itu yang cenderung mereduksi
status kesantrian, melatarbelakangi puisi ini.
Tidak penting, terciptanya puisi yang bejudul "Bagaimana
Sampeyan Ini" merupakan ekspresi keprihatinan pribadi penulis yang
notabene terlahir dari rahim dunia pesantren merespon fenomena-fenomena yang
menguap di kalangan santri, atau secara spontanitas hanya sekadar upaya
eksplorasi ketajaman intuisi dalam diri penulis. Tetapi hal terpokok, dengan
bermaksud santun penulis mengajak para santri untuk melakukan upaya evaluasi
diri terhadap tingkah laku yang selama ini dilakukan.
Sesuai pengalaman penulis, jika puisi ini dipublis dengan
menggunakan langgam Jawa disertai irama musik yang senada, mungkin pembacaan
puisi ini akan mudah mengena dan lebih mengurai makna dibaliknya.
Bagaimana
sampeyan ini.
Penulis memulai puisi ini dengan pertanyaan sebagaimana judulnya.
Tentu tidak sembarangan penulis mengajukan tanya itu, terdapat tujuan tertentu.
Bagi penulis, pertanyaan tersebut bukan hanya sekedar bermakna penekanan dalam
pelafalan dan intonasi ketika dibacakan, tetapi lebih dari itu dimaksudkan
sebagai ransangan agar objek dalam puisi ini (baca: santri) benar-benar menaruh
perhatian lebih terhadap kontennya. Sehingga dengan konsentrasi yang diharapkan
penulis, muatan-muatan dibalik kalimat-kalimat secara substansial mampu
diserap, dipikirkan dan semaksimal mungkin dihayati.
Katanya
sampeyan santri.
Tetapi
kata-kata sampeyan sering tidak hati-hati.
Batas norma
acapkali dilewati.
Dalam bait ini kembali penulis menoreh sebuah kata bernada tanya yang
berbeda dengan sebelumnya. Seakan penulis ingin meminta penegasan dari santri
tentang identitasnya. Betulkah dia bagian dari sekelompok orang dalam komunitas
kaum pesantren ? Tentu kata-kata penulis ini tanpa jawaban. Tetapi tanpa sebuah
respon sekalipun, jika dia telah benar-benar memproklamirkan diri sebagai
santri, maka kalimat berikutnya akan mampu membuat dirinya terperangah. Betapa
tidak, ucapan yang tidak terkontrol, baik dari sisi dampak maupun dari segi
isi, pasti kontra produktif dengan status kesantriannya.
Selama ini kaum santri dikenal sebagai golongan masyarakat yang
sangat santun, ramah dan toleran dalam setiap aspek kehidupan. Ujaran-ujaran
yang diungkapkan para santri selalu saja sarat makna dan hikmah, sebagaimana
perilaku dan tindakannya yang selaras dengan kata-katanya. Inilah salah satu
faktor animo sebagian besar masyarakat terhadap lembaga tertua di Indonesia
ini.
Memang diakui oleh para ahli bahwa arah pendidikan pesantren
dibangun atas kesadaran tauhid yang kemudian mengejawantah dalam
praktik-praktik moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Sejak awal pertumbuhan
dan perkembangan dalam sejarah pesantren di tanah nusantara, akhlak agung kaum
santri menjadi rujukan dan barometer moralitas bangsa ini.
Namun keberhasilan arah pendidikan lembaga pesantren belakangan
mulai dikotori oleh perilaku sebagian personal (baca: oknum) santri yang
menyimpang. Indikasi yang mencolok ialah seringkali perkataan-perkataannya
sudah tidak mencerminkan profil santri. Banyak isi ucapannya hanya menggambarkan
pemuda jalanan yang tidak pernah mengenal pendidikan agama. Ditambah cara
penyampaian yang tidak lagi mengindahkan tatakrama orang-orang pesantren.
Begitu pula keberanian dalam hal gerak-geriknya menabrak garis normatif yang
pernah diserap pada pengajian-pengajian di pesantren sudah berada diambang
batas mengkhawatirkan. Ucapan-ucapan segelintir santri yang diasumsikan kontras
dengan hakikat profil pesantren inilah inti pertanyaan yang diajukan penulis.
Seakan
menyembah, saat sang Guru mendatangi.
Namun
perintahnya tak ditaati.
Tradisi menghormati pendidik; kiai atau ustadz memang bagian dari
doktrin yang diajarkan di dunia pesantren berdasarkan referensi kitab-kitab
klasik. Nilai-nilai tatakrama yang meliputi aspek metode belajar, ikhtiar dan
relasi guru-murid, serta interaksi sesama sahabat senantiasa didengungkan oleh
pengasuh dan dewan asatidz dalam setiap kesempatan tatap muka. Tentu ajaran dan
doktrin ini bukan hanya pola pergaulan secara lahir belaka, apalagi cuma
sekadar menjadi ilmu pengetahuan bagi para santri, tetapi lebih jauh
dimaksudkan agar mereka betul-betul mengaplikasikannya dalam praktik-praktik
sehari-hari yang sedapat mungkin bisa berdampak pada gerak batin mereka.
Walhasil, eksistensi pesantren diancang sebagai pusat pengembangan yang
berorientasi pada nilai (value-oriented development). Oleh karenanya, pengajaran
tentang etika dilakukan begitu komprehensip dan simultan, sehingga akhlak
terkait dengan pergaulan ini benar-benar menjadi tabiat yang muncul dari
nurani.
Tetapi belakangan disinyalir mulai ada fenomena kepura-puraan pada
setiap tingkah laku atas nama penghormatan yang dilakukan oleh sebagian santri
terhadap gurunya. Hal ini dapat dicermati dari sikap menundukkan kepala saat
dihadapan sang guru misalnya, hanya sebatas "unggah-ungguh" lahir
belaka. Tetapi ketika dibelakang kiai, sebagian santri tersebut dengan sengaja
menelikung dan telah berani membangkang peraturan-peraturan pesantren. Padahal
kiai mengajarkan norma-norma dan tatakrama pada setiap santri dengan metode
pembiasaan dicitakan menjadi tabiat sehingga dikemudian hari saat mereka kembali
ke pangkuan masyarakatnya mampu tampil sebagai jangkar-jangkar pesantren bagi
penyemaian generasi muslim bermoral mulia dan berkepribadian luhur.
Sekarang
sampeyan jarang mengaji.
WA, FB, BB dan
Twiter jadi makanan sehari-hari.
Sebagai lembaga Islam yang menerapkan sistem pendidikan yang
bersifat kontinyu dan integreted, pesantren mempunyai rutinitas pengajaran dan
ritual yang cukup padat. Salah satu ciri khas pendidikan ala pesantren ialah
pendalaman agama lewat pembelajaran materi kitab-kitab klasik (kutub al-turats)
dengan segala metode belajar yang sudah dipraktikkan secara turun-temurun.
Pembelajaran itu dikenal dengan istilah "mengaji kitab kuning".
Namun gegap gempita arus modernisasi yang ditandai dengan kian
membanjirnya kecanggihan teknologi, menjadikan tradisi santri mengaji mulai
tergerus dan secara perlahan tergantikan oleh IT terbarukan. Perkenalan
sebagian kalangan santri dengan dunia teknologi membentuk mereka
"melek" kemajuan zaman, sehingga pagar doktrinasi pesantren tidak mampu
lagi mengisolir mereka dari dampak negatif globalisasi.
Kesenangannya
berdebat dan diskusi.
Diarahkan malah
menasehati.
Kesalahan orang
lain dikuliti.
Dosa sendiri
tak sempat ditobati.
Sebetulnya keterlibatan santri di dalam kegiatan-kegiatan berupa
kajian dan diskusi ilmiah merupakan bagian dari aktifitas yang diprogramkan dan
dikembangkan di dunia pesantren. Banyak pesantren yang tetap teguh
mempertahankan kegiatan musyawarah kitab, baik dalam skala perkelas, pertingkat
komunitas maupun antar pesantren, sebagaimana kegiatan bahtsul masail yang
terus dilestarilan eksistensinya hingga sekarang. Kedua program ini ditujukan
sebagai wahana agar para santri mempunyai keterampilan menyampaikan dan
melontarkan wacana-wacana secara argumentatif, disamping memiliki kepiawaian
menjawab persoalan-persoalan masyarakat kekinian dengan dasar-dasar hukum dan
referensi yang tingkat validitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara moral.
Tetapi tatkala kepandaian yang tampak pada diri seorang santri
dalam hal bersilat lidah itu hanya dimotivasi oleh dominasi niatan mengalahkan
lawan apalagi cuma untuk membusungkan dada, maka keunggulan tersebut menjadi
perkara yang sama sekali tidak terpuji. Lebih-lebih apabila bakat
berargumentasi itu dijadikan tameng dari setiap nasihat dan petuah, maka tentu
status kesantriannya perlu dipertanyakan.
Predikat santri yang disandang kaum pesantren juga wajib diragukan,
jika sikap yang menonjol dalam dirinya selalu memposisikan sebagai dewa suci
tanpa cacat, sementara orang lain senantiasa dinilai lalai penuh kedurhakaan.
Pada bagian ini, seorang santri diharapkan bisa menjaga nurani dari
segala macam penyakit batin, sehingga ia mampu tampil sebagai sosok yang rendah
hati dan santun (al-tawadlu' wa al-khudlu') tanpa senoktah kesombongan yang
melekat dalam sanubarinya, sekalipun kealimannya telah melangit. Di dalam rumus
kesufian kalangan pesantren, santri ideal ialah seorang pribadi yang rela
mengevaluasi diri sendiri sembari merasa enggan mengorek borok pihak lain. Di
sinilah kenapa mayoritas pesantren pasti menyisipkan materi akhlak dan tasawuf
sebagai bahan ajar dalam struktur kurikulum pendidikannya.
Lawan jenis
terlarang, malah didekati.
Bukan mahram,
justru diembati.
Tata tertib yang sudah kaprah diundangkan di lingkungan pesantren
memuat, salah satunya, soal hubungan santri putra-putri. Batasan hubungan antar
lawan jenis yang dimaksud meretas dari garis-garis hukum yang ditetapkan dalam
syariat Islam. Hanya implementasi pelaksanaan teknis saja yang kadang-kadang
berbeda antar pesantren sesuai kebijakan pengasuh atau kesepakatan semua elemen
di dalam sebuah pesantren. Ada pesantren yang menerapkan sanksi dari
pelanggaran tatib tersebut dengan berupa ta'zir, sanksi bertahap, skorsing, dan
ada pula yang dengan keras melaksanakan pengusiran. Meskipun cara pelaksanaan
hukuman atas pelanggaran etika pergaulan putra-putri bervariasi di
masing-masing pesantren, tetapi secara substansial tujuan yang didamba sama,
yakni ingin mentasbihkan nama baik santri, baik dari segi hukum syariat maupun
dalam pandangan masyarakat, dengan sekuat mungkin melakukan upaya meminimalisir
dekadensi moral.
Menjadi fakta yang sangat ironis bagi dunia pesantren, apabila
seorang santri telah lama berjibaku dengan materi-materi agama beserta setumpuk
problemnya, lalu dilunturkan dengan sekadar mengumbar hawa nafsunya. Padahal
kalau hanya untuk "mengangkangi" lawan jenis, jelas tidak perlu
jauh-jauh dan bersusah-payah bersemedi di bilik-bilik pesantren dengan ongkos
yang tidak murah.
Mengaku berada
di penjara suci.
Tapi ikrar
santri tak ditepati.
Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
sistemnya dengan segala macam mekanisme dan prosedur, para santri di dalam
pesantren juga dikelilingi dengan aturan yang mengikat gerak mereka. Secara
garis besar pesantren mengurung seluruh peserta didik dengan seperangkat
program dan tatanan yang bersumbu dari nilai pembentukan karakter (character
building value). Oleh karenanya, pesantren bagi kebanyakan santri, terutama
yang pernah menghirup udara kebebasan, terkesan seperti bui yang memasung
kemerdekaan segenap pemuasan. Padahal, hakikat keberadaan pesantren di
Nusantara ini merupakan sebentuk kawah bagi penanaman benih-benih kebaikan dan
keteguhan, terbukti dalam orientasi pendidikan pesantren, di samping terdapat
metode musyawarah, mudzakarah, muhafadzah dan lain-lain, juga diterapkan
riyadlah, ubudiyah dan semacamnya.
Tetapi tatkala seorang santri mulai enggan pada seluruh aspek
kewajiban, larangan, dan program kegiatan pesantren, maka sesungguhnya ia telah
mendustakan janji-janji yang dipersaksikan, baik secara personal maupun
kolektif pada saat awal-awal menginjakkan kaki di lingkungan pesantren.
Titah sang Kiai
tidak dituruti.
Pulang nanti mengemis
diberkahi.
Pada umumnya kiai merupakan tokoh sentral yang menjadi kiblat di
lingkungan pesantrennya. Meskipun dunia pesantren sudah mulai bersentuhan
dengan manajemen modern dalam segala hal, tetapi senyampang itu masih berkaitan
dengan penanganan secara internal dan bahkan eksternal sekalipun, maka
eksistensi dan dominasi keikutsertaan kiai masih sangat diperlukan.
Di luar tipologi leadership yang sering diperbincangkan para ahli
manajemen, gaya kepemimpinan kiai dapat dikategorikan sebagai model
kharismatik; sebuah kepemimpinan hasil karunia diinspirasi Ilahi (devinely
inspired gift). Kharisma yang melekat pada sosok kiai muncul akibat kedalaman
ilmu pengetahuan tentang agama yang dibarengi tingkat kesempurnaan
pengamalannya, sehingga bertitik dari sini, seorang kiai mempunyai hak otoritas
yang tak terbatas terhadap pengelolaan, dan kebijakan pada keberlangsungan
pesantrennya. Bahkan segenap kalangan dalam pesantren dan semua lapisan
masyarakat mempercayai bahwa sang kiai memiliki derajat yang tinggi di sisi
Tuhannya yang mampu dijadikan rujukan atas segala keluh kesah.
Oleh karena itu, menjadi sangat janggal pengakuan dari anak
pesantren bahwa dirinya seorang santri, apabila peraturan, tata tertib, dan
pengurus pesantren yang merepresentasikan keterwakilan kiai, atau sosok kiai
sendiri, seringkali dilanggar dan justeru dilawan. Lebih miris lagi, jika ia
hendak berpamitan pulang (boyong) dengan entengnya mencium tangan kiai sembari
memohon doa restu tanpa beban sama sekali. Seakan-akan mengiba, seribu maaf
atas segala salah betul-betul dipinta, bahkan tak jarang tangis tanda
penyesalan benar-benar ditumpahkan. Padahal kepergiannya dari pesantren masih
menyisakan setumpuk kesalahan dan tanggungan tak tertebus.
Bagaimana
sampeyan ini.
Biaya hidup masih
minta dikirimi.
Tapi pada orang
tua kurang berbakti.
Pengorbanan
mereka tidak diimbangi.
Malah
perasaannya selalu disakiti.
Dalam bait ini, penulis mulai mengarahkan pembaca sasaran (santri)
untuk membincang kedua orang tuanya setelah sebelumnya mengkaji
persoalan-persoalan kepesantrenan. Di awal bait, kembali penulis melontarkan
pertanyaan yang diulang. Tentu tujuan kata tanya tersebut memuat semangat agar
pembaca sasaran lebih menaruh perhatian terhadap isi berikutnya.
Sebagaimana lazimnya anak-anak sekolah yang masih dibawah
tanggungan kedua orang tua, mayoritas keberadaan para santri di komplek
pesantren juga tak lepas dari cucuran keringat ayah-ibunya. Seluruh kebutuhan
sehari-hari, baik sandang maupun pangan, secara penuh digelontorkan oleh orang
tua tanpa pamrih sedikitpun. Kebanyakan fakta yang terjadi menggambarkan betapa
anak muda, termasuk kalangan santri, benar-benar menggantungkan diri dari usaha
keduanya sekalipun para santri itu telah melewati masa kanak-kanak.
Tentu kedua orang tua tidak akan mengemis balasan apapun dari
putranya, tetapi tatkala mereka seringkali memperlihatkan sikap keengganan saat
melayani keduanya, apalagi menampakkan perilaku perlawanan dalam mensikapi
titah-titah keduanya, maka pasti status kesantrian mereka kurang elok
disematkan di pundaknya.
Belum lagi jika secara psikologis, kebaikan yang telah dijulurkan
kedua orang tua hanya dibalas dengan respon melukai kalbu keduanya. Menjadikan
keduanya bersedih tidak harus disimbolkan dengan sikap melawan keduanya secara
fisik saja, tetapi gaya hidup tirani yang menunjukkan keangkuhan di hadapan
pengurus, peraturan pesantren atau malah kiai sudah lebih dari cukup untuk
menjadikan air mata keduanya menetes. Sebab bagi kedua orang tua, putra yang
digadang-gadang bakal menjadi generasi yang pantas dibanggakan, ternyata hanya
mewujud menjadi makhluk yang patut dilecehkan.
Tidak ingat
sampeyan sering ditangisi.
Justru tertawa,
merokok sambil ngopi.
Jarang berdoa
dan memfatihai.
Ternyata
kepercayaannya dikhianati.
Tak akan ada seorangpun dari setiap anak bakal terputus hubungan
batin dengan kedua orang tuanya sekecil apa saja, tidak pula ruang dan waktu mampu
memisahkan ikatan keduanya. Se-lama apapun masa yang mengucilkan diantara
keduanya, atau se-jauh apapun jarak yang mengasingkan diantara keduanya, tak
kan pernah mampu memenggal tali ruh keduanya. Oleh karena itu, tidak heran
banyak kasus yang mencontohkan betapa seorang ibu tersedu-sedu meskipun sang
suami tetap setia disampingnya, gara-gara ia tengah teringat putra yang berada
di rantau non jauh di sana.
Bayangan raut wajah sang putra kian menghiyang di pelupuk mata ibu,
tatkala ia telah benar-benar meringkuh dengan nasibnya di teras-teras
pesantren. Tentu pada saat-saat demikian ini, tangan kedua orang tua seringkali
tengadah di malam yang makin kelam, sementara bibir-bibir keduanya bergetar
menyebut nama putranya diantara nama Tuhannya, dan butiran air mata di pipi
keduanya tak lagi terhitung. Disertai rasa sangat percaya terhadap keberadaan
anaknya di pesantren yang sedang tekun belajar, patuh kepada guru dan
peraturannya, serta selalu bergumul dengan kegiatan keilmua, setiap orang tua
menaruh harapan besar kelak buah hatinya dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang
bisa ditebarkan buat sekelilingnya.
Tetapi di tempat jauh di sana, seorang anak yang berstatus santri
tenggelam dalam gemerlap fatamorgana kabahagiaan bersama komunitasnya. Ia telah
terjebak ke dalam gaya hidup hedonisme. Ia lupa bahwa di kejauhan sana terdapat
sosok yang sedang tertindih oleh keprihatinan mendalam akibat membayangkan
kondisi putranya di rantau. Seperti ia sedang alpa merangkai doa-doa untuk
keduanya, ia juga telah lalai menghadiahkan seuntai um al-kitab untuk
dipersembahkan kepada keduanya. Sang anak santri, kini, sudah benar-benar
menjadi anak durhaka dengan berlaku khilaf dan berkhianat atas amanah yang
dipercayakan oleh bapak-emaknya.
Mereka keramat
yang harus dihormati.
Ee,
dihadapannya sampeyan malah berani.
Padahal sebetulnya, kedudukan orang tua bagi seorang anak seperti
kunci pembuka pintu kebahagiaan di dunia sekaligus jendela keselamatan di alam
akhirat. Bukankah Rasulallah SAW telah memberikan gambaran kongkrit:
"Surga berada dibawah telapak kaki ibu." ?
Banyak orang, termasuk kalangan santri, yang acapkali mencari
berbagai macam kebaikan, kemuliaan, kemudahan, atau keberkahan dengan melalui
perantara orang-orang shalih dan para wali. Tidak jarang dana rela dikeluarkan,
dan tenaga dikuras habis demi untuk bisa bertawasul di atas batu nisan
makam-makam mereka. Namun mereka lupa bahwa sejatinya terdapat sosok pribadi
agung di sisi Tuhan yang sepantasnya didahulukan sebelum menziarahi orang-orang
shalih dan para wali tersebut, yaitu kedua orang tua.
Ghalib terjadi bagi kebanyakan santri, keberadaan kedua orang tua
dirasa begitu diperlukan hanya untuk menopang hajat hidup sehari-harinya
belaka. Dan yang lebih mencengangkan, bahkan demi untuk memenuhi kepuasan
nafsu-syahwat dan keinginan-keinginan pribadi, tak jarang sebagian mereka
memeras kedua orang tua sembari tampil bak raja tega. Seakan ujaran
"menari di atas penderitaan orang lain" menjadi corak dari gaya hidup
kebanyakan santri belakangan ini.
Di tengah moralitas yang kian luntur di kalangan santri, disinyalir
etika berinteraksi dengan orang tua sebagaimana ajaran Al-Quran dan hadits,
serta tuntunan kiai pesantren juga mulai tidak dinomor-wahidkan.
Apa mungkin
selamat akan didapati.
Jika di kakinya
tak pernah menciumi.
Padahal sejatinya, wujud kedua orang tua bagi pencari ilmu justeru
sangat diperlukan pada aspek terwujudnya pengetahuan yang bermanfaat, dan
tergapainya sebuah cita-cita.
Tetapi sayangnya, keagungan orang tua tak urung tercecer oleh
kelalaiannya sendiri,
sehingga kaprah terjadi lulusan pesantren cuma menjadi "sampah
masyarakat" di tengah-tengah warga kampungnya kendati kealiman yang
dimilikinya mengundang decak kagum setiap orang.
Tanpa menafikan banyak faktor, tetapi keramat kedua orang tua
termasuk bagian dari penyebab utama yang menentukan peruntungan seseorang dalam
segala aspek kehidupan.
Jargon yang seringkali diungkapkan kiai dalam untaian
nasihat-nasihatnya kepada para santri, "andai ilmu yang kalian peroleh
telah menyentuh ujung langit sekalipun, tidak akan terasa manfaatnya apabila
kalian tidak mampu membuat kedua orang tua tersenyum," memang sahih
sekali.
Bagaimana
sampeyan ini.
Duh, bagaimana
sampeyan ini.
Dua bait ini merupakan bagian terakhir dari puisi penulis. Di sini,
penulis menutup dengan dua pertanyaan yang sama dengan judulnya. Tetapi tidak
sebagaimana maksud penulis di awal yang menginginkan agar terdapat penekanan
dan perhatian, pertanyaan-pertanyaan ini lebih cenderung sebagai ungkapan
ketercengangan penulis (bahkan mungkin juga mewakili setiap orang tua) atas
fenomena-fenomena seperti diungkapkan penulis yang hampir-hampir sudah terlihat
menggejala di lingkungan pesantren. Lewat dua pertanyaan ini, penulis seakan
nyaris tidak mempercayai fakta sebagian santri yang kontradiktif dengan
eksistensi pesantren itu sendiri. Pesantren yang diakui oleh semua pihak
sebagai lembaga pendidikan Islam yang sarat dengan pengajaran nilai-nilai
akhlak, ternyata tercemari oleh perilaku sebagian santri yang bermodel seperti
tersebut.
Absah saja penulis (dan para orang tua) terbelalak menyaksikan
kenyataan yang meletup. Tentu saja kondisi semacam ini menyebabkan semua pihak
mengelus dada dan merasa prihatin yang mendalam, bahkan tidak menutup
kemungkinan para orang tua akan meneteskan air mata. Alhasil,
pertanyaan-pertanyaan bait terakhir ini dapat dimaknai sebagai simbol
kegelisahan akibat tersentak oleh fenomena yang mecuat.[]
sumber gambar: resplashed.com