Oleh: Muhammad Madarik
Anak kecil ini berlari memasuki
halaman rumahnya, lalu bergegas melempar tas sekolah ke kasur di kamarnya.
Sedetik kemudian ia masuk ke ruang neneknya yang bersebelahan dengan kamarnya.
Sang nenek sedang terbaring sakit terbujur lemah. Gadis yang kini duduk kelas V
SD ini menyentuh pipi orang tua itu dengan telapak tangannya.
"Uuh... masih panas,"
ungkap si cucu dalam hati.
"Kamu nak, sudah datang?"
Suara parau terdengar sambil mata cekungnya terus terpejam. Terlihat perempuan
tua itu hanya menggeliat serasa ingin membuang jauh-jauh kepenatan di sekujur
tubuhnya.
Bocah kecil ini mengambil kain
kompres yang sejak tadi pagi saat ditinggalkan ke sekolah masih tetap menempel
di dahi neneknya. Alat yang dibuat membantu mendinginkan panas badan itu, ia
celupkan dalam baskom berisi air di samping tempat tidur lalu memasang kembali
di dekat mata ibunda ayahnya.
"Nek, makan lagi ya! Biar cepat
sembuh."
Si nenek cuma menggeleng seraya
sesungging senyum kecut menghias di bibirnya. Terkesan sekali senyum itu diumbar
sebagai penawar lelah raga yang terus menerus digerogoti sakit sekaligus
penghibur buat cucu tercintanya.
Ia memandang wajah keriput di
depannya sesaat sebelum beranjak meninggalkan neneknya, berjalan keluar kamar.
Shabrina merasa lega melihat neneknya terpejam kembali. Di ruang tengah, anak
yang biasa dipanggil dengan sebutan Rina ini menuju kunci yang tergantung di
sebelah almari kuno peninggalan kakeknya. Kemudian ia mengambil tumpukan
beberapa kunci yang menggelantung dan keluar dari rumah dan bergegas membuka
pintu toko yang berada di sebelah kanan depan rumah berkonstruksi adat Jawa
itu. Sebuah bangunan toko sederhana hanya berukuran 2x3 m. yang mulai terlihat
isinya banyak yang kosong. Seperti biasa seusai sekolah, ia menjaga toko
setelah mengurus dan merawat neneknya telah kelar.
Rina duduk di kursi kayu setelah
sebelumnya membersihkan seluruh sudut toko dari debu dan membuka pintu depan
dan jendela di sebelah samping. Toko ini di bangun ayahnya sekian tahun yang
lewat hingga sekarang grafik aset penjualan terus menurun, lebih-lebih sejak
neneknya jatuh sakit sebab tidak ada lagi yang mengambil barang di toko agen.
Toko itu memang dibuat oleh ayah
Shabrina sebagai solusi buat istrinya agar memiliki kerja sampingan setelah
menyelesaikan pekerjaan rumah. Tetapi karena letak rumah keluarga Shabrina
berada jauh di pojok kampung, toko itu sepi pembeli. Apalagi rumah Shabrina
berposisi di ujung dari rumah-rumah tetangga dengan jalan terusan ke
persawahan, sehingga pelanggannya cuma petani yang akan pergi dan pulang dari
sawah saja. Hanya saja, buat ibu Shabrina sudah lumayan untuk tambahan
pemasukan belanja harian.
***
Shabrina merupakan anak pertama dari
tiga bersaudara. Ia putri sendirian, sedang kedua adik lelaki semua, Nadzif dan
Nabit. Adik pertama masih duduk di bangku kelas II SD, sementara kedua baru
belajar berjalan.
Ayah mereka seorang pegawai negeri
yang ditugaskan di kota kecamatan sebagai pengajar Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Setiap kali bertugas, sang bapak mengendarai sepeda motor yang digunakan
pulang-pergi antara rumah dan tempat dinas. Tidak jarang kedua adik Shabrina
merengek saat ayahnya terlihat mengeluarkan kendaraannya.
Ketika adiknya merajut tak ingin
ditinggalkan ayahnya, acapkali Shabrina harus menggantikan ibunya, membujuk
adik yang sedang dalam lucu-lucunya itu.
"Rina! Adiknya tolong dihibur itu.
Kasihan ibunya lagi repot," perintah nenek suatu waktu sambil duduk-duduk
di kursi depan rumah.
Menjengkelkan, tetapi juga
menyenangkan.
Rina menemukan tidak terhitung keadaan
gembira bersama anggota keluarga. Kala habis maghrib merupakan waktu yang
seringkali bertemu seisi rumah. Biasanya ayah sedang makan, setelah menjelang
mata hari tenggelam berada di toko yang di bangunnya bersama sang istri.
Senyampang ibu masih melayani ayah, Shabrinalah kakak tertua yang seringkali
tampil merawat adik-adiknya. Di ruang tengah itu seluruh anggota berkumpul.
Suasana begitu hangat terasa, ada gelak tawa sebab si kecil bertingkah lucu,
tetapi saat selanjutnya ada suara tangis. Kadang terdapat saling bercerita
antara nenek, ayah, ibu dan terkadang Shabrina. Dalam saat demikian itu, bagi
Shabrina begitu menyejukkan karena ia bisa curhat tentang sekolah, mata
pelajaran, kelakuan teman-temannya dan banyak hal tentang dirinya kepada ayah,
ibu dan bahkan neneknya. Banyak petuah, arahan dan petunjuk yang di dapat dari
mereka.
Suatu hari keluarga bahagia itu
mengadakan acara berlibur ketika masa libur sudah tiba. Sang ayah menggunakan
mobil sewaan sebagai alat transportasi mereka. Dengan mempertimbangkan irit
dana, ayah Shabrina mengemudikan sendiri tanpa pendamping. Liburan mereka
berjalan lancar dengan segala suasana gembira, sebab seluruh keluarga ikut
semua kecuali nenek karena alasan menjaga rumah. Namun kebahagiaan yang reguk
tidak lama, kecelakaan maut pun terjadi saat mereka pulang. Tabrak lari
kendaraan truk mengakibatkan tewas segenap anggota keluarga yang menyisakan
Shabrina sebagai satu-satunya korban yang selamat. Entah sebab apa ia hanya
lecet dan memar di beberapa tubuhnya.
Keadaan ini menyebabkan Shabrina shock.
Kenapa ia ditinggal sendirian? Tidak ada tempat mengadu, tidak keluarga yang
diajak untuk curhat. Hilang sudah keceriaan, canda, dan tawa mereka. Lenyap
sudah rengekan, kemanjaan, kelucuan dan suara tangis sang adik tersayang.
Hidupku kini sendiri... Untunglah masih ada nenek yang menjadi pendamping hidup
seorang gadis yatim piatu ini.
***
Tak terasa butiran air mata Shabrina
mengalir di pipinya. Shabrina terjaga dari lamunan ke masa lalu yang kelam.
Gadis kecil ini terperanjat mengingat sang nenek sudah waktunya makan siang dan
minum obat. Shabrina berlari ke dalam rumah dan menengok nenek dengan
hati-hati.
"Nek! Nenek!" Perlahan ia
menyentuh wanita tua itu.
Betapa kagetnya Shabrina, ternyata sang
nenek sudah tidak bergerak lagi. Shabrina menjerit histeris di samping tubuh
neneknya, "Nenek! Jangan tinggalkan aku!"
Oh, Shabrina.[]
Sumber Gambar: