Thursday, February 18, 2016

Cinta Melengkapi Perbedaan; Potret Ideal Masyarakat Multikultural


Oleh: Muhammad Dhofir

Sederet kata di atas harusnya menjadi salah satu perekat bagi keberadaan masyarak plural (majemuk), keadaan masyarakat yang beragam. “Melengkapi dalam perbedaan” merupakan sebuah frasa yang seharusnya menjadi moto masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya. Lewat ungkapan tersebut, masyarakat diajak untuk membangun wilayah di mana mereka tinggal, walaupun terselip perbedaan di antara mereka. Hendaknya perbedaan tersebut menjadi jembatan untuk kesejahteraan dan kesejajaran bersama. Ungkapan ini mungkin hanya tertera di dalam pikiran, tetapi paling tidak sekembalinya ke Kalimantan Barat bagi para “perantau sudah sangat paham harus bagaimana semestinya membangun cinta melengkapi perbedaan. Sampai pada akhirnya menyebabkan timbulnya kepekaan  sosial masyarakat terhadap perbedaan yang ada.

Multikulturalisme di Indonesia terbentuk dari keanekaragaman suku bangsa, agama, bahasa, etnis, hingga adat istiadat. Kemajemukan bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia. Terbiasa hidup dengan keadaan masyarakat yang beragam suku bangsa, sosial, dan adat istiadat belum tentu membawa kesadaran tentang pentingnya hidup dalam pluralisme (kemajemukan).

Multikulturalisme bukan hanya memandang soal keberagaman, tetapi juga suatu kondisi di mana masyarakat yang majemuk mengakui adanya kesederajatan kultur dan perbedaan yang ada. Dimaksudkan tidak ada nilai budaya yang lebih baik atau budaya yang lebih benar satu sama lain. Integrasi (keterpaduan) terwujud menjadi bentuk konkret dalam kesederajatan dan kegotongroyongan.

Dari konsep kesederajatan dalam multikulturalisme bisa diambil suatu sikap yaitu toleransi. Multikulturalisme bukan hanya tentang menerima keberagaman, namun juga bersikap aktif dalam bertoleransi. Memaknai kembali multikulturalisme dapat diimplementasikan dengan cara menghormati kultur dan kebudayaan masing-masing individu. Di samping itu, mengakui eksistensi  budaya dan kultur serta toleransi atas aktivitas-aktivitas kebudayaan merupakan representasi dalam keharusan hidup masyarakat plural. Kesadaran akan hidup cinta perbedaan dengan semua orang inilah cermin salah satu tipe manusia  pemimpin.

Hal yang tak kalah penting dari penerapan multikulturalisme adalah pendidikan multikulturalisme yang diajarkan kepada siswa/santri. Pendidikan adalah sebuah media sosialisasi multikulturalisme yang efektif, karena dalam dunia pendidikan selain memberikan ilmu juga memberikan pedoman dalam tingkah dan perilaku. Ketika pendidikan berhasil, baik pendidikan  formal atau non-formal menanamkan konsepsi dari multikulturalisme maka siswa/santri akan pandai dalam menyikapi perbedaan yang ada. Tidak mengedepankan keilmuan yang dimiliki tetapi lebih kesejajaran, diharapakan menjadi tauladan dari kemajemukan masyarakat yang ada.

Oleh karena itu, penamanan sikap toleransi kepada siswa/santri dan masyarakat sejatinya perlu ditularkan dari sanubari ulama kepada santrinya, pendidik ke siswanya, orang tua kepada putra-putrinya, dan seterusnya.

Ketika dihadapkan dengan segelintir perbedaan di sekitar kita, kunci utama adalah cinta dan kesejajaran. Melalui cinta dan kesejajaran, kemajemukan bisa menjadi pondasi masyarakat untuk menumbuhkan sikap cinta tanah air dan kepedulian antar sesama. Seperti sederet kata “cinta melengkapai perbedaan” menunjukkan kepada Nusantara bahwa cinta menumbuhkan kebersamaan dan kesejajaran dalam masyarakat multikultural.[]

sumber gambar: Hadapi Kami dulu, by Hery Hehakaya

Sunday, February 14, 2016

Klinik Fasyfini, Ikhtiar Membalik Image; Sebuah Opini dan Kesaksian


Oleh: Muhammad Madarik

Setelah melalui beberap proses, akhirnya klinik kesehatan milik pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran resmi dibuka pada 18 Januari 2016 yang ditandai dengan acara pembacaan shalawat dan doa di ruang klinik. Agenda kegiatan ini dihadiri oleh KH Ahmad Hariri Yahya (Penasihat Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi), Habib Abdul Qodir ibn Muhammad Al-Jufri (tokoh masyarakat), Gus Nasihuddin Khozin (Bendahara Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi), Gus Abdul Mannan Qoffal (Kepala SMK Al-Khozini), dr. Ganang (pelaksana klinik), Bapak Jumadi (Kepala Desa Ganjaran), Bapak Hasyim Khan (Pengurus Hisaniyah RU I) dan beberapa masyarakat sekitar klinik.

Tanggal ini dicanangkan sebagai waktu kelahiran pusat kesehatan yang bertempat di desa Ganjaran ini, meskipun proses lobi-lobi dan penggarapan teknis sudah dimulai sebelum tanggal tersebut.

Asal usul klinik yang kemudian diberi nama "Klinik Fasyfini" ini diawali oleh perkenalan antara Gus Abdul Mannan Qoffal (Kepala SMK Al-Khozini Ganjaran) dengan seorang dokter Aji Bayu Wicoksono yang lebih populer dengan panggilan dr. Ganang. Pertautan antara dua orang inilah lalu  membuahkan hasil perencenaan pendirian pusat kesehatan untuk santri dan masyarakat. Bak gaung bersambut, program bidang kesehatan ini dianggap begitu sangat prospektif bagi pengembangan SMK Al-Khozini. Sebagaimana sering diungkapkan, Gus Mannan memang sudah lama mengimpikan adanya jurusan yang berkaitan dengan kesehatan. Bagi putra kiai Qoffal ini, pesantren dengan segala macam potensi yang dimiliki dan sekaligus kekurangan yang selama ini disematkan, ke depan memerlukan generasi muslim yang benar-benar mampu berperan aktif di ranah kesehatan. Sebab selama ini gaya hidup masyarakat muslim, terutama kaum nahdliyin dan bahkan sebagian besar kalangan pesantren sendiri, begitu berjarak dengan prinsip-prinsip hidup sehat. Kehadiran pusat kesehatan diharapkan bisa mengubah dan memperbaiki pandangan dan sikap yang mengabaikan urgensitas kesehatan.

Padahal secara normatif, menurut menantu KH Khozin Yahya itu, dari sisi konsep sebetulnya orang-orang pesantren kaya referensi tentang kesehatan mulai dari jaman klasik hingga masa modern. Setiap melakukan kajian kitab, para santri sering kali menemukan tema-tema yang berkaitan dengan kesehatan. Tetapi sayangnya, potensi besar yang dimiliki kaum "sarungan" itu ternyata lemah di dalam implementasi. Buktinya, lingkungan pesantren tetap saja dikenal sebagai tempat kumuh, tidak bersih dan "sarang kudik."

Hal ini senada dengan asa terpendam dr. Ganang yang mengangankan agar mindset masyarakat yang sudah sekian lama melekat tentang kebersihan dan kesehatan kaum nahdliyin dan dunia pesantren tidak lagi buram. Lompatan yang mengambil start dari upaya mewujudkan pusat kesehatan di pusar nahdliyin diandaikan mampu mengubur mindset tersebut.

Keterkaitan dua mimpi ini melahirkan semangat Gus Mannan untuk melempangkan jalan buat dokter enerjik itu memasuki gerbang PPRU I. Hal pertama yang dilakukan oleh suami Nyai Habibah itu adalah memohon restu kepada saya, selaku pihak Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi. Kemudian saya menyerap pendapat dua orang yang saya anggap penting dilingkungan pesantren Raudlatul Ulum I dalam konteks pengadaan pusat kesehatan, yakni Gus Nasihuddin Khozin dan Gus Abdurrahman Said. Orang pertama, saya anggap mempunyai pengaruh besar di jajaran kepengurusan pesantren, sedangkan kedua saya nilai telah teruji daya kritisnya saat sebelumnya pernah muncul niat yang sama beberapa tahun silam. Setelah presentasi dr. Ganang tentang rencana induk (master plan) pusat kesehatan, keduanya mengapresiasi rancangan ini. Sebagai pihak yang ditunggu jawabannya, saya kemudian mengiyakan tawaran Kepala SMK Al-Khozini dengan menyetujui rancangan dr. Ganang. Walaupun terdapat beberapa orang di kalangan keluarga yang masih "bertanya-tanya" dari berbagai aspek, namun cita-cita ini tetap dilanjutkan sehingga presentasi kedua dari dr. Ganang digelar. Uraian tahap dua kian memuluskan rencana agar PPRU I segera memiliki klinik.

Tanggal 18 Januari 2016 merupakan momen terwujudnya klinik kesehatan yang diberi nama "Fasyfini." Nama ini muncul setelah saya dipercaya oleh Gus Mannan untuk menentukan nama yang tepat bagi klinik. Saya tidak paham asal muasal penamaan ini menggunakan titel itu, tetapi yang jelas makna dibalik nama tersebut mencerminkan harapan kesehatan semua pihak. Apalagi dr. Ganang menginginkan agar nama klinik tidak menggambarkan perwakilan salah satu lembaga. Saya kira nama "Fasyfini" sudah cocok dengan kegiatan yang bergerak di bidang kesehatan dan sesuai dengan keinginan menutup keterwakilan salah satu pihak.

Tentu keberadaan "Fasyfini" bukan merupakan garis finish yang kaprahnya kemudian menepuk dada setelah wujudnya. Rentetan kegiatan berikutnya di dalam "Klinik Fasyfini" perlu terus dikawal mekanisme, prosedur dan aktivitas teknisnya. Oleh karena itu, pada tanggal 9 Pebruari 2016 yang lalu saya mengumpulkan jajaran Dewan Pengasuh, dan dr. Ganang serta timnya untuk menetapkan Gus Ahmad Athok Lukman dan Gus Abdurrohim Said sebagai wakil Yayasan yang diharapkan bisa ikut serta mengkomunikasikan antara Yayasan dan tim pelaksana "Klinik Fasyfini" dan sekaligus melakukan pengawasan. Gus Athok diancang dapat mengoreksi bidang keuangan sedang Gus Abdurrohim diminta mengawasi proses pelaksanaan.

Sebagaimana menjadi impian dr. Ganang, keberadaan "Klinik Fasyfini" tidak saja menjadi pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan anak santri di desa Ganjaran dan sekitarnya, tetapi diharapkan menjadi sayap pengembangan SMK Al-Khozini di bidang kesehatan. Bahkan, menurut saya, "Klinik Fasyfini" dapat dibuat anak tangga bagi dr. Ganang untuk lebih leluasa mengakrabkan diri dengan kalangan pesantren di desa Ganjaran yang selanjutnya secara bersama-sama merekonstruksi mindset dan image tentang kaum nahdliyin dan pesantren dari kumuh menjadi bersih, dari perilaku kotor menuju sehat. Semoga.[]

Sumber gambar: Peaceful Heart Doctor, by Eva Blue

Tuesday, February 9, 2016

Pasang-Surut Islam di Indonesia


Oleh: Ahmad Nilam

Musim Semi Itu
Indonesia merupakan bangsa besar dengan penduduk. ± 125 juta jiwa, bangsa yang memiliki ratusan suku sebagai cagar budaya, bangsa dengan seribu kepulauan yang subur, bangsa yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia. Sampai hari ini 90% penduduk bangsa ini pemeluk agama Islam sejak terlepas dari kekuasaan agama Hindu dan Budha pada 7 abad yang silam. Dengan tertatih-tatih rakyat bangsa ini melepaskan diri dari kekafiran melalui bimbingan para sunan pulau Jawa—manusia yang mendapat ilham untuk berdakwah di pulau Jawa. Dengan kelemahlembutan, mereka membawa manusia dari millah jahiliyah menuju cahaya Islam yang mahligai. Berbagai episode perjuangan dan peperangan silih berganti mereka hadapi untuk mengakarkan millah Ibrahim ini.

Sejarah mencatat tentang perjuangan dan keberanian mereka memberangus penghambaan pada berhala-berhala setan, seperti Raden Patah, Sunan Giri dan mereka yang berprinsip Islam secara murni. Dan kelelahan, ketabahan serta kesabaran mereka ini pada akhirnya membentuk kebijaksanaan mereka dalam menjalani hidup di dunia sekaligus begitu berhati-hati supaya tidak lengah sehingga melupakan kehidupan kekal (akhirat) di episode selanjutnya.

Bisa dibilang, pada zaman itu Islam Nusantara seperti taman bunga memasuki musim semi—berjaya dan gemilang—di bumi nusantara, terlebih di pulau jawa.

Kemandulan Islam
Seperti halnya di Timur Tengah, Turki, Spanyol dan lain sebagainya, Islam di Nusantara juga mengalami kemunduran sejak imprialisme ketamakan Belanda menyelinap memasuki kedamain bangsa ini selama 3 abad lebih. Terlalu lama untuk disebut penjajahan. Terlalu sakit untuk dikenang.

Mereka yang barbaris, hedonis, tamak dan biadab telah menginvasi rakyat, mulai dari mental, kemerdekaan mereka sebagai manusia, politik, kekayaan alam serta kembali memupuk berhala-berhala yang telah lama mati. Bersama cukong-cukong yang berhati busuk dan bermental penakut, biadab dan seluruh tabiat bangsat di jiwa mereka—misalnya Danurejo IV—kolonial Belanda memeras keringat rakyat sampai tidak tersisa, kerja paksa serta kebiadaban lainnya telah memadamkan semangat keagamaan mereka dan menanamkan keputusasaan untuk berharap di hari esok. Krisis kepedulian sosial di berbagai elemen tumpah-ruah membanjiri semua kalangan, sehingga tercipta yang kaya akan semakin kaya dan simiskin kian tercekik oleh zaman penjajahan. Akibatnya kejahatan dan kebiadaban seperti perampokan, pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan serta kebodohan tumbuh subur di zaman itu. Hanya segelintir dari mereka yang selamat dari kebiadaban zaman pada waktu itu meskipun mereka yang mempertahankan akidahnya harus memiliki kesabaran dan kekuatan seperti orang yang memegang bara api.

Jepang dengan kaisar bodohnya juga ingin memadamkan api tauhid Islam yang sudah kritis di bangsa ini, dengan cara membungkuk kepada kaisar sebagai penghormatan yang terkenal denga upacara Seikerei. Namun Tuhan masih tetap membela millah Ibrahim dan memberi pertolongan pada bangsa ini untuk mempertahankan eksistentensi ketuhanan yang absolut.
Tercatat, bangsa penyembah matahari ini menjajah bumi nusantara selama ± 3 tahun (1942-1945), namun tingkat kesadisan dan kebiadaban mereka sangat patut untuk dikatakan "kebiadaban manusia yang lahir dari rahim penyembah setan", yang lazimnya sikap penyembah setan itu tamak, angkuh, biadap dan bangsat.

Singkatnya, pada zaman itu Islam seperti bunga memasuki akhir musim semi, layu. Bahkan tak jarang, para kiai sebagai pemimpin spritual rakyat yang berupaya untuk bangkit atau paling tidak mempertahankan akidah diserang dan dihukum atau malah dibunuh dengan cara ditembak dengan biadab.

Kebangkitan Islam
Memasuki abad ke 19 M. Islam kembali menampakkan sinar keberaniannya, cahaya harapan yang sempat redup telah terbit di ufuk timur, banyak putra bangsa yang bangun dari tidur yang berkepanjangan, bangkit dan mempelajari Islam dari satu pintu ke pintu yang lain bahkan sampai ke Mekah untuk memperdalam dan menemukan ruh hakikat keberanian Islam yang bisa membuat mereka bersemangat dan memberi semangat untuk bangkit pada manusia lainnya. Misalnya Syaikhana Khalil, Kiai Shaleh Darat, Kiai Muhammad Dahlan dan Rais Akbar Kiai Hasyim As'ari. Kiai yang disebut terakhir adalah salah satu ujung tombak kemerdekaan bangsa dari penjajah serta pendiri organisasi keagamaan yang terkuat dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari segala kesederhanaan sikap kiai ini, lahir pejuang-pejuang bangsa yang gagah berani dan pasukan berani mati, setelah beliau menfatwakan wajib jihad membela agama Islam dan bangsa saat negara sekutu mencoba kembali menginjakkan kaki untuk menjajah pada tahun 1945, beberapa bulan setelah bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya pada tgl 17 Agustus 1945.

Dari sekian ribu pahlawan bangsa Indonesia yang lahir dari kewibawaan Islam, yang termashur adalah Bung Tomo. Pekikan "Allahu Akbar!"-nya memberi semangat yang meggelora dan harapan merdeka di hari esok atau kerinduan syahid di jihad fisabilillah. Catatan sejarah menjadikan tanggal 10 November Tahun 1945 itu sebagai Hari Pahlawan yang selalu dikenang oleh bangsa—merekalah kaum bersarung murni didikan Islam. Dan masih banyak lagi sejarah keberanian dan keperwiraan Islam yang gagah berani mengusir kebiadaban dan mempertahankan bangsa ini dari ketamakan, barbarisme kolonial Belanda dan Jepang, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, yang keduanya merupakan Presiden dan wakil President pertama di bumi Indonesia. Di zaman ini, cukup sulit menemukan kemampuan memimpin bangsa seperti yang beliau lakukan, dari sebab itu As-Sayyidi al-Habib Muhammad Luthfi mengajak bangsa Indonesia untuk menghormati beliau bahkan terhadap foto beliau yang ada di lembaran Rp 100.000—sekedar penghormatan.

Islam dan pemeluknya telah menyelamatkan bangsa ini dari pengafiran, ketamakan, kebiadaban dan kelicikan kolonial Belanda dan Jepang. Menyitir perkataan Muhammad Massad: "Bukanlah umat Islam yang telah membuat Islam itu besar; Islamlah yang telah membuat umat Islam itu menjadi besar."

Era Jahiliyah Di Abad Ini
Sayangnya, millah jahiliyah di abad milenium ini kembali mengepak sayap cacatnya, Banjir kebejatan moral telah melanda semua kalangan bangsa Indonesia. Pemuasan hawa nafsu menjadi patokan utama sebagai tujuan menjalani hidup, pemimpin beserta rakyatnya sama-sama berlomba dalam mewujudkan kesenangan diri, kemewahan dan keroyalan sampai pada tahap pantas untuk dituding sebagai sahabat setan—mubadzir.

Kita bisa melihat dan mendengar bahwa sebagian besar harga jam tangan anggota dewan cukup untuk memberi makan orang miskin sekampung, artis yang memamerkan keindahan fashion-nya dengan harga yang tidak memungkinkan kalau melihat kemiskinan yang membludak di bangsa ini. Mereka yang terbudak oleh hawa nafsu tampaknya sangat lihai menontonkan cara kesombongan ala setan—Fun, Fashion dan Food.

Paham hedonisme, telah mengakar kuat di bangsa ini, membusuk di semua sendi otak, meniru masyarakat Barat yang materialistis sehingga semua harus bersifat uang dan materi. Itulah sebabnya kebobrokan negeri ini semakin tak terbendung. Politik kotor semakin menjadi, dan puncaknya panggung orang-orang berdasi ini menjadi tempat favorit mangkalnya penyamum. Sudah tak terhitung berapa banyaknya rangkaian tayangan televisi yang menayangkan kasus maling negara ini seraya tersenyum dan berdada di depan kamera. Belum lagi persekongkolan mereka dengan masyarakat barat untuk menggerus kekayaan alam Bangsa Indonesia.

Aduhai, Indonesia sudah sekarat!

Moral bangsa dipertaruhkan, martabat bangsa tergadaikan, oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab dan karena mereka inilah banyak orang yang melacur, merampok, menipu dan seluruh bentuk keputusasaan yang lain karena terjepit kemelaratan yang tak kunjung usai.

Sementara umat Islam masih sibuk dengan mementingkan kubu-kubu mereka dan melakukan pembelaan yang berlebihan sehingga lalai pada tugas yang paling penting peranannya di dunia—khalifah.

Para cendekiawan Islam yang seharusnya memperhatikan sekaligus membenahi arus biadabnya jahiliyah yang semakin mencemaskan, lebih mementingkan pengkafiran pada saudaranya yang tidak sepaham, lebih suka memupuk dengki-dendam daripada berangkulan tangan demi maslahat umat.

Karena itulah kebejatan moral semakin menggerus pewaris tahta bangsa, belum lagi cahaya Islam yang meredup oleh karena banyaknya organisasi keislaman yang tak bertanggung jawab. Kebodohan mereka yang hendak membela Islam malah menghancurkan Islam, hendak memuliakan Islam malah menghina Islam, hendak menampakkan kewibawaan Islam malah memberi kesan bahwa Islam agama teroris yang biadab, kotor dan puritan. Ruh Islam yang rahmatan lil alamin tertutupi oleh kepentingan-kepentingan pribadi, bahkan tak jarang ketulusan Islam dijadikan sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan nafsunya yang buas.
Singkatnya, di zaman ini bangsa Indonesia yang berpenduduk muslim terbanyak tak mampu menjadikan Islam sebagai acuan hukum dan sandaran bangsa.

Padahal, seperti yang dikatakan Muhammad Massad di depan, jika bangsa ini ingin besar, dihormati, berwibawa di hadapan kawan, ditakuti oleh lawan rakyatnya harus bermental Islam yang gagah berani.

Penghancur Peradaban Islam
Setelah mencoba merenungi alasan demi alasan peristiwa ini, penulis menemukan tiga golongan terpenting yang menyebabkan bangsa ini bobrok dengan teramat sangat memilukan.

1. Pemimpin. Sebagian besar pemimpin bangsa ini sudah tidak lagi beragama (ateis), dan lebih memilih aturan atau gaya hidup barat yang bejat, boros dan tamak. Bagaimana mungkin mereka kita bela mempunyai agama? Padahal sudah jelas sabda Rasulullah SAW bahwa "tidak beragama orang yang tidak menunaikan amanah". Kita bisa melihat dewasa ini, bagaimana sikap mereka terhadap amanah bangsa yang dibuang ketempat sampah dengan cara yang paling mengerikan. Mereka lebih mementingkan nafsu duniawi, keserakahan sampai pada tahap tidak tahu malu, dan kepuasan birahi hewani, daripada menulis sejarah yang baik untuk dirinya. Apabila mereka ditanya kapan bangsa ini akan bangkit, jawaban mereka "sabar, sabar dan tunggu" geram menggelutuk saat mendengar mereka memberi jawaban ini sambil nyengir.

2. Ulama. Sebagian besar dari golongan mereka sudah acuh dalam urusan amar makruf nahi mungkar. Mereka lebih suka berdebat dan mengafirkan satu sama lain demi membenarkan pendapatnya sendiri daripada fokus maslahat umat, mereka lebih suka memberikan lelucon daripada menceritakan sejarah keemasan Islam, mereka lebih suka dipuji daripada menahan rasa sakit demi amar makruf nahi mungkar, mereka lebih suka mempertontonkan hal-hal yang tidak sewajarnya daripada menjaga marwah, bahkan dari sebagian mereka, mau menjadi budak iklan produk murahan. Keengganan mereka untuk tulus mendidik bangsa persis kaum Yahudi sebagaimana yang didawuhkan KH. Maimun Zubair "Wong Yahudi iku biyen gelem mulang angger dibayar, tapi akehe kiyai saiki ngalor ngidul karo rokoan ora gelem mulang nak ora dibayar, gelem mulang angger dibayar." (Orang Yahudi dulu mau mengajar kalau dikasih uang, tetapi kebanyakan kyai sekarang mondar-mandir sambil rokoan tidak mau mengajar kalau tidak dikasih uang).

Dan yang aneh, ancaman Allah swt. kepada orang yang berilmu namun tidak mengamalkan, menyuruh tapi tidak melakukan, memerintah tapi malah melakukan lebih dulu dengan ancaman yang lebih dahsyat daripada penyembah berhala, mereka anggap sebagai hal yang lumrah dan disikapi dengan senyum. Golongan yang kedua ini, apabila ditanya kemandulan Islam dibumi pertiwi hanya bisa menjawab dengan menuduh bangsa Yahudi dan Nasrani sebagai biang keladinya. Mereka tidak sadar, bahwa panglima pasukan kelompok musuh Islam itu adalah (kebodohan) mereka.

3. Rakyat. Kebodohan mereka terlampau teramat sangat. Mereka tidak mengidahkan sabda Rasulullah SAW yang melarang memberikan (memilih) kepemimpinan kepada orang yang memintanya atau yang berusaha memperolehnya. Alih-alih mereka ikut, malah mereka membuat semboyan "ada uang, ada suara" yang menunjukkan betapa bodoh dan primitifnya otak mereka, terbelakang dan telah menjadi kaum matrealistis. Mereka ibarat anak domba yang memilih ikut serigala daripada ikut induknya.

Golongon terbodoh ini akan melakukan demo besar-besaran dan mengamuk dengan membabi buta seraya berselogan "kami rakyat negara yang bebas berdemokrasi".

Dan ketiga golongan diatas satu sama lain sudah tidak mau lagi menjaga aib sesama, yang satu membuka aib yang lain dan seterusnya. Padahal As-Sayyid al-Habib Muhammad luthfi telah mengingatkan dengan dawuhnya "Begitu juga dalam kehidupan berbangsa. Kalau kita menutupi aib saudara kita sebangsa, atau pejabat kita, atau Negara kita, maka bangsa lain pun tidak berani memojokkan bangsa kita. Bangsa lain memojokkan bangsa kita, tidak menghormati bangsa kita karena kita sendiri yang membuka aib bangsa kita".

Ketiga-tiganya di atas disebabkan keengganan dan kemalasan mereka untuk mempelajari dan memasuki (mengamalkan) Islam secara kaffah.[]

04-01-16, Bengkulu.

sumber gambar: The Heart of Bukhara, by Sergei Golyshey

Sunday, February 7, 2016

(Masih) Tentang Galau Yang Tak Kunjung Usai


 Oleh: Najmah Muniroh

Adalah wajib bagi para enterpreneur, pedagang dan juragan untuk mengenali kondisi pasar dengan baik sebelum memasarkan produk. Dan sepertinya, para saudagar kaya raya ini sadar betul bahwa Indonesia adalah surganya para hijabers, kiblat hijab dunia. Dan dari perkawinan antara desainer dengan enterpreneur maka lahirlah berbagai macam model hijab kekinian dengan berbagai macam bentuk, kualitas dan merek. Zoya,  sebagai merek panutan hijab syar’i keren ternama di Indonesia tahu benar bagaimana memanfaatkan kenaifan masyarakat kita yang takut neraka. Hingga kerudungpun perlu sertifikat halal. Lagipula siapa juga berani main-main sama neraka hah? Saya pikir cerdas juga ini bakul hijab memanfaatkan kesempatan. Lha wong di negara gemah ripah loh jinawi ini agama bisa ‘dipasarkan’ kok. Lalu mengapa ‘pasar’ tidak bisa di-‘agama’-kan. Jadi jangan heran kalau Yang Mulia MUI unjuk gigi dengan sertifikat saktinya.

Semenjak beredar isu sertifikat halal ini, galaulah saya sebagai muslimah kekinian. Karena jika Zoya berbangga dengan label kerudung pertama yang bersertifikat halal, berarti selama ini kerudung yang saya pakai tidak halal dong. Duh, percumalah saya salat jengkulat-jengkulit, menghafalkan Alquran dan menutup aurat kalau saya menutup aurat dengan produk yang tidak halal. Tak hanya berhenti di situ, penyesalan dan kegalauan saya makin bertambah parah setelah melirik label harga di gerai resmi. Cem mana tak galau awak ni kalau untuk membeli kerudung ‘halal’ awak harus merogoh kocek dalam-dalam. Kalau biasanya dengan uang 70 ribu saya mampu membeli kerudung tujuh macam kerudung berbeda, maka kali ini saya harus puas dengan satu macam kerudung. Tidak apa-apa mahal. Yang penting ‘halal’. Hmm... baiklah, sepertinya saya harus mulai menabung dari sekarang, karena di negara ini cap halal lebih penting daripada menutup aurat. Mungkin kalau saya sudah membeli hijab bercap halal MUI dosa saya bisa diampuni Gusti Allah karena selama ini saya pakai kerudung tidak halal. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Lagipula, untuk mencapai surga memang tidak murah. Memangnya surga itu kavlingan embahmu apa? Dan untuk ‘kebahagiaan abadi’ di surga, tujuh puluh ribu tidak seberapa bukan? Lagi pula sudah kewajiban saya sebagai manusia biasa yang bukan siapa-siapa, untuk taat pada Majelis Ulama Indonesia. Dengan taat, maka tunailah kewajiban saya  sebagai individu Pancasila Berketuhanan Yang Maha Esa.

Setelah kewajiban individu selesai maka ada lagi PR sebagai makhluk sosial yang menanti. Sebagai manusia yang zoonpoliticon, tentu tak elok jika saya ribut dengan kegalauan diri sendiri tapi abai dengan kegalauan manusia-manusia di sekitar saya, termasuk bakul hijab di Pasar Besar dekat tempat domisili saya sekarang. Bukan apa-apa sih ya, saya takut saja begitu kalau tiba-tiba semenjak keluar sertifikat halal ini, kemudian MUI razia pasar-pasar dan produsen kerudung seperti yang biasa dilakukan untuk produk kosmetik, makanan dan minuman. Kalau kejadian beneran, bangkrutlah bandar.

Duh, ingin rasanya saya mengadu kepada Nabi Muhammad tentang ajaibnya Indonesia Raya tempat kelahiran saya ini. Karena untuk menjadi muslimah Indonesia kekinian ternyata tantangannya berat sekali. Kok ya dari bangun tidur sampai tidur lagi rasanya perbuatan saya dosa semua. Lha wong tiap hari saya pakai produk Unilever macam Pepsodent dan saudara-saudaranya. Padahal Unilever adalah penyumbang terbesar bala tentara Israel yang kejam. Saya minum Coca-Cola, saya sering makan di McDonalds juga. For your information, biasanya saya mampir ke McDonalds bareng turis-turis yang saya pandu nge-trip mendaki gunung lewati lembah. Masak ya saya tolak traktiran turis saya, lha wong gratis, tinggal makan, dagingnya halal. Mc D pun mengantongi sertifikat halal MUI loh. Tapi ya begitu, Mc D masuk di daftar penyumbang Israel juga. Setidaknya itu yang saya baca dari groupWhatsapp. By theway, Whatssapp sudah dibeli Mark Zuckerberg orang Yahudi bos geng Facebook khan ya? Astaghfirullah, bertambahlah dosa saya karena sehari-hari memakai produk mereka. Itu baru produk yang saya konsumsi dan pakai loh, belum lagi jaminan kesehatan produk pemerintah yaitu BPJS. Nasib BPJS pun tak jelas, MUI mengharamkan kemudian menarik keputusan dan menghalalkannya kembali dengan berbagai pertimbangan. Duh, makin bingunglah saya.

Sialnya, dosa rutin saya tidak hanya itu. Saya juga demen selfie. Padahal Al-MukarromUstad Felix Siaw yang muda, keren, modern dan pengguna aktif Twitter sudah ndawuh di kultwitnya bahwa selfie itu HARAM karena berujung pada sifat takabur, riya’ dan ujub. Duh Pak Ustadz, saya belum dunung sampai sekarang karena njenengan mengharamkan selfie tapi malah jadi Juri Selfie, sudah begitu njenengan ngetwit begini “Yang masih mau ikutan SELFIE #selfieby Hijab Alia, Ahad 14/12/2014 di Gedung SMESCO, JKT, mumpung HTM masih promo”. Oh iya, waktu itu khan njenengan kerjasama dengan Hijab Alia ya. Alia loh ya... Bukan Zoya. Soalnya Zoya jauh dari haram. Khan ada sertifikat halalnya. Wahai Ustadz, kalau selfie njenengan hukumi haram maka berkabunglah perempuan kekinian, laki-laki kemayu, remaja alay dan Mahmud Abas (red: Mamah Muda Anak Baru Satu) seluruh dunia. Bagaimana tidak sedih jika hiburan kami kau putusi HARAM. Lalu bagaimana nasib Camera 360, B 12, Beauty Plus dan Instagram milik kami. Haruskah kami uninstall sekarang juga?  Ngomong-ngomong njenengan ndak kepengen ittiba’ jejak MUI yang menarik fatwa tah?

Galau saya ini bukan tidak beralasan Ustadz Felix, saya menggalau berkepanjangan begini karena saya pernah baca dawuh visioner Sayyidina Ali karromallahu wajhah yang menggambarkan keadaan zaman akhir yang begini bunyinya:

“Aku khawatir dengan suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan. Keyakinan hanya tinggal pemikiran yang tak berbekas dalam perbuatan. Banyak orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai. Ada yang khusyu’ namun sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah namun mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat rendah hati bagai sufi. Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat. Ada yang menangis karena kufur nikmat. Ada yang murah senyum namun hatinya mengumpat. Ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak namun tak memberi teladan. Ada pezina yang tampil menjadi figur. Ada yang punya ilmu tapi tak paham. Ada yang paham tapi tak menjalankan. Ada yang pintar tapi membodohi. Ada yang bodoh tapi tak tahu diri. Ada yang beragama tapi tak berakhlaq. Ada yang berakhlaq tapi tak bertuhan”.

Lalu di antara semua itu di manakah saya berada, Ustadz?![]

sumber gambar: gratisography.com
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top