Judul di atas
merupakan kata yang simpel, padat serta lugas. Suatu kata yang awalnya agak
aneh kedengarannya, tetapi setelah diresapi dan direnungkan secara mendalam
akan terlihat pengertian yang sangat membentang begitu luas dari kedalaman
makna di balik simbol-simbol kalimatnya. Di dalam tema itu tersimpul kerangka
sistem pendidikan sekaligus tatanan berpikir, berwawasan, bahkan tata cara
berkehidupan sosial yang komprehensif dari aturan-aturan dogmatis (baca:
syariat) Islam.
Hal pertama yang
terlintas dalam pikiran setiap manusia adalah sesuatu yang menakjubkan dari ajaran
dan keberagamaan dalam Islam tentang upaya menggapai kebahagiaan hakiki sesuai
alur yang ditawarkan Islam, yaitu fikih dan tasawuf. Sebagai prosedur standar
beragama dengan muatan tata aturan beribadah, fikih diciptakan agar sosok
muslim dapat dihantar kepada pola beribadah yang sahih dan absah. Sementara
tasawuf terlahir dalam bentuk seperangkat rumusan-rumusan keberagamaan dari
dimensi ruhani yang harus dipedomani oleh setiap individu yang mengimpikan
menemukan makna hakiki dari setumpuk aturan fikih yang dilaksanakan. Tetapi kondisi
ideal semacam ini di sebagian lingkungan, termasuk di dalam lembaga pendidikan
Islam, belum tampak menjadi kurikulum yang sistematis, sehingga pada gilirannya
fikih dan tasawuf dalam praktik keberagamaan menjelma menjadi rambu
dipersimpangan yang menunjukkan dua arah berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Kajian mendalam tentang fenomena tersebut tentu masih memerlukan
lembaran panjang dan sekelompok pemikir muslim handal, sekelumit tulisan ini
diharapkan mampu dijadikan setetes tawaran awal dari selaksa ide di belakangnya.
Aspek Berbeda
Dari Persepsi Berbeda
Sementara ini pemahaman
sebagian orang terhadap kenyataan munculnya fikih dan tasawuf, utamanya dalam
ranah pendidikan, membelah secara dikotomis antara fikih yang dianggap berada
di pojok pelaksanaan peribadatan harian pada satu sisi, sementara tasawuf
dinilai sebagai bagian dari sistem penataan psikologis seseorang pada sisi yang
lain. Oleh karena itu, persepsi demikian ini merupakan faktor yang sesungguhnya
membuat jurang pemisah antara fikih dan tasawuf kian menganga semakin lebar,
sehingga posisi keduanya terutama di dalam ruang pendidikan bagai dua musuh
yang sulit diislahkan.
Fenomena yang
tidak bisa dipungkiri, selama ini fikih diasumsikan sebagai bagian dari pelaksanaan
syariat Islam dalam bentuk-bentuk teknis penyelenggaraan agama (syarî‘ah al-islâm).
Asumsi semacam ini pada dasarnya bukan hal yang salah, sebab fikih merupakan kajian
yang membahas ajaran Islam dalam aspek hukum atau syariat. Dalam pengertian ini,
jelas bahwa fikih berbeda dengan Ilmu Tauhid yang membahas ajaran Islam dalam
aspek keimanan (‘aqîdah al-islâm) dan berbeda pula dengan Ilmu Tasawuf yang
membahas ajaran Islam dalam aspek moral atau etika. Makanya penyatuan fikih dan
tasawuf dalam ranah pendidikan dan aplikasi keseharian hanya menjadi mimpi
belaka.
Fenomena lain
yang juga tidak dapat diingkari bahwa selama ini tasawuf dinobatkan sebagai ilmu hakikat, pengetahuan batin atau hal
yang terkait dengan ruhani. Tegasnya,
Ilmu Tasawuf merupakan pengetahuan yang
menginformasikan bagaimana seseorang hendak membersihkan dan memurnikan ruh
(hati) dari geliat nafsu, sehingga dorongan aspek batin yang bersih itu dapat menyucikan
dimensi lahir manusia untuk tidak melakukan kemungkaran dan kesalahan.
Dalam konteks
teoritis, tentu saja persepsi tersebut tidak menyalahi fakta ilmiah bahwa dari
sisi terminologis fikih dan tasawuf memang seperti yang terungkap di atas. Oleh
karena itu, menyalahkan apa yang diuraikan merupakan sikap kekanak-kanakan.
Tetapi fakta kekinian menunjukkan bahwa selama
ini sebagian kalangan muslim masih cenderung mengasumsikan bahwa antara fikih
dengan tasawuf merupakan dua ilmu yang senantiasa berhadap-hadapan (atau bahkan
juga sengaja dipertentangkan) secara vis-a-vis.
Para penganut fikih yang fanatik terhadap perilaku memegang legalitas formal (baca:
fikih-sentris) memandang “haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan
argumentasinya, baik secara naqlî
maupun ‘aqlî. Sementara itu, para penggiat tasawuf pun tidak ketinggalan
dalam mengkritik para pelaku yang hanya melihat hitam di atas putih (formalisme
keberagamaan), tanpa menangkap esensi atau substansi Islam seperti diharapkan
kaum sufi.
Dalam konteks demikian ini, pertengkaran dua kubu
menjadi fakta yang fenomenal di dalam dunia pendidikan lebih-lebih di alam
nyata. Dalam pola hidup semisal kelompok tarekat, istilah “tasawuf” bagi mereka
sangat ditakdiskan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan
kesucian jiwa. Sejak dini para peserta pemula tarekat sudah dikenalkan anggapan
bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan
tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir mereka yang selalu
disimbolkan dengan pakaian lusuh, tasbih di tangan dan bibir yang selalu melafazkan
zikir. Sedangkan pelaku fikih seperti sebagian orang-orang pesantren, mulai
awal di masa-masa pendidikannya sudah ditanamkan sekaligus dibentuk cara berfikir,
bersikap dan perilaku serba fikih. Seakan seluruh warna kehidupan dalam semua
dimensi menggunakan ukuran fikih sebagai standarnya, sehingga ruang hidup orang
bergaya fikih-sentris hanya berujung pada pilihan hitam-putih, haram-halal dan
absah atau tidak absah.
Meniscayakan
Perkawinan Fikih Dan Tasawuf
Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa pada satu sisi fikih berada pada wilayah aturan ketat,
sedangkan pada sisi yang lain tasawuf berposisi di ruang tata cara yang
longgar. Tetapi kenyataan ini bukan berarti keduanya tidak harus bercerai lalu
kemudian berjauhan. Sebab, sesungguhnya fikih dan tasawuf merupakan dua wujud
yang hakikatnya satu di mana keduanya saling melengkapi.
Sebagaimana
diketahui fikih berada di tataran teori dan praktik peribadatan belaka, misalnya
soal tata cara bersuci (thahârah), sembahyang kepada Tuhan (ash-shalawât
al-khams) dan peribadatan lainnya. Dalam konteks ini, fikih merupakan pilar
hukum Islam dari sisi legalitas formal. Sementara eksistensi tasawuf di
tengah-tengah dinamika kehidupan berperan sebagai tonggak hukum Islam dari
dimensi esensi substansial. Oleh karena itu, sebetulnya posisi fikih di atas
altar kehidupan personal dan sosial berbanding lurus dengan kedudukan fikih di
dalam menata arah hidup pribadi maupun bermasyarakat.
Dari sini dapat
dipahami bahwa fikih akan terkesan kaku dan kering makna bagi penghayatan
penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran kalbu yang
dipancarkan tasawuf. Sebaliknya, tasawuf dengan serta merta dapat menghantarkan
seorang hamba pada proses pengabdian tanpa prosedur syariat yang diberlakukan—kendatipun
pada level dan sosok tertentu dibenarkan dalam dunia tasawuf—tatkala fikih
dikelupas dari tasawuf.
Salah satu tokoh
yang berandil besar dalam menyatukan fikih dan tasawuf adalah Al-Ghazali.
Dengan Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn-nya ia menyuarakan persandingan fikih dan
tasawuf, sebagaimana ia berkoar lantang tentang penyatuan ilmu kalam dengan
filsafat. Dari sini, khazanah ilmu pengetahuan Islam kian diperkaya dengan ide
cemerlang Al-Ghazali yang melahirkan konsep rahasia-rahasia ibadah (baca: asrâr
ath-thahârah, asrâr ash-shalâh, dan seterusnya). Kegersangan hidup yang
melanda masyarakat muslim sekarang ini dengan perilaku fikih tanpa pemaknaan
mendalam dari tasawuf, atau keterperosokan gaya hidup sebagian manusia melalui
tingkah berlagak “tasawuf” tanpa ukuran fikih yang standar dapat diobati dan
dikurangi berkat kehadiran konsep ini. Inilah seharusnya yang perlu
diperhatikan oleh kalangan pendidik lembaga Islam dan pegiat tarekat negeri
ini, agar fikih dan tasawuf menjadi landasan dasar bagi setiap insan menapaki
dinamika kehidupan individu dan sosial.
Ungkapan
sebagian ahli fikih, “barang siapa mendalami fikih, tetapi belum bertasawuf,
berarti ia fasik; barang siapa yang bertasawuf, tetapi belum mendalami fikih,
berarti ia zindiq; dan barang siapa melakukan keduanya, berarti ia telah
melaksanakan kebenaran (tahaqquq)” bukan saja jargon kosong
belaka.[]
Muhammad Madarik
adalah dosen
STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang.