Hari-harinya hampir dihabiskan di kontrakanku. Datang pagi pulang malam, yang dilakukannya hanya bermain komputer, sampai terkadang aku risih dengan kehadirannya, ketika aku sedang membaca novel, hilang semua konsentrasi otakku. Mungkin bagi orang yang belum kenal, ia adalah orang yang aneh. Sebetulnya aku juga merasakan yang sama, namun mungkin karena terlalu sering bersamanya, hingga keanehannya jadi terasa biasa saja.
Dua tahun yang silam aku berkenalan dengan Wahyu. Aku berkeinginan berkenalan dengannya karena kebiasaannya termenung di ujung gang kontrakanku. Ketika aku hendak berangkat dan pulang dari tempat kerja, aku selalu menemukan ia sedang duduk di atas serpihan puing tembok tua, dengan kedua lutut menopang kepalanya, serta matanya yang sayu terkadang menerawang ke ujung tiang listrik, memandangi burung gereja yang sedang berkicauan. Bibirnya melumat-lumat pengait selilit gigi. Aku jadi penasaran untuk mendekatinya, kenapa ia selalu termenung, sendirian pula, apa tidak bosan? Atau mungkin ia punya masalah yang sulit dipecahkan? Nah, maka dari itu aku ingin mengenalnya.
Setelah aku mengenalnya, dan keseringan aku menghampiri tempat dia terdiam di ujung gang, lama-kelamaan aku merasa kasihan pada kebiasaannya yang selalu termenung di ujung gang. Aku menyuruh ia diam di kontrakanku meskipun aku sedang keluar. “Daripada diam sendiran di pinggir gang, lebih baik kamu diam di kontrakanku. Di situ ada komputer, kamu bisa pakai kalau aku sedang kerja, kamu bisa main game, musik, dan nonton film,” kataku waktu itu. Ia mengiyakan dengan isyarat anggukan kepala. Dari awal aku kenal dengannya, ia lebih banyak diam tanpa berkata, meskipun ketika dikontrakan sedang banyak kawan-kawanku yang bergurau, yang terkadang sampai kelewatan, ia hanya diam, terkadang cuma sedikit senyum.
Setelah beberapa lama ia akrab denganku, ia tidak penah lagi diam di ujung gang, setiap pagi langsung menuju kontrakan dan pulang sampai dini hari. Timbul dalam hatiku pertanyaan tentangnya, apakah ia tidak sekolah? Kalau memang iya, kenapa ia tidak sekolah?. Aku ingin menanyakan hal itu pada Wahyu. tapi setiap aku hendak bertanya, aku ragu, hingga aku harus mengurungkan niatku, tepatnya aku tidak berani. Takut pertanyaanku malah menyinggung perasaannya. namun aku yakin ia pasti mempunyai rahasia yang disembunyikannya dariku, mungkin masalah yang agak besar, yang sulit dipecahkan. Tapi pertanyaan itu lama terus singggah dalam hatiku, seperti menyelimuti, dan selimut itu seperti semakin menebal, hingga gerah rasanya jika terus dibiarkan. Hingga rasanya aku harus mencoba memberanikan diri menanyakan tentang hal tersebut pada Wahyu. Tepat ketika dia habis main game, mungkin capek, dia diam. duduk bersila di depanku, lalu aku menanyakan perihal tersebut. Tapi, ketika aku bertanya, ia hanya sekejap memandang mataku, matanya yang tajam seperti menusuk tepat di mataku. Aku menundukkan wajahku, tersipu. Setelah itu ia juga menundukan wajahnya tanpa meninggalkan satu kata pun.
Lama ia selalu diam di kontrakanku, datang pagi pulang dini hari. aku mulai merasa risih dengan kehadirannya, karena kelakuannya terkadang tak beretika. Dia suka merokok dan puntungnyan di buang sembarangan di lantai. Terkadang suka tidur sekenanya, hingga mau lewat saja aku kesulitan. Apalagi ketika ia main game dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya.
Kemarin ia main game seharian penuh. Pastinya seperti biasa, dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya. Aku perhatikan nampaknya ia sangat beremosi dengan gamenya, tiba-tiba ketika emosinya memuncak, tampaknya ia hampir menang, seketika komputernya mati. Ia mencoba menghidupkan komputer itu lagi berulang-ulang, tapi tetap saja tidak mau hidup. Sepertinya ia sangat kesal. Lalu, tanpa pamit ia pergi dari kamarku, kebetulan waktu itu di kamarku ada dua orang teman kerjaku, mereka terheran-heran melihat sikap wahyu. aku mencoba mengalihkan perhatian mereka pada obrolan-obrolan kecil, untuk menutupi keanehan Wahyu. Keesokan harinya ia ke kontrakan lagi, tapi ia sepertinya kecewa dan putus asa dengan komputer yang masih mati. Ia diam memencet-mencet hape jadulnya, aku biarkan saja, lalu aku tinggalkan ia sendirian di kamar, aku berangkat kerja,
Setelah aku pulang dari kerja kutemui ia sudah tidak lagi di kamarku, entah kemana, mungkin pulang atau kemana. Ah, aku tak peduli. Aku ingin merebahkan tubuhku di kamar. Aku sangat lelah sekali. Tapi, hendak aku merebahkan tubuhku, tiba-tiba bapak Wahyu datang tergopoh-gopoh mencari wahyu.
“Wahyu ada di sini, Dek?”
“Tadi pagi dia kesini, Om. Tapi barusan aku pulang dari kampus ia sudah tidak ada di sini. Memangnya dia tidak ada di rumah?”
“Tidak ada, Dek. Waduh, kemana tuh anak?!” Katanya geram. Lalu ia duduk di kamarku, tepat di depanku. Tanpa pengantar, lalu dia berbicara soala wahyu, anaknya. Tepatnya mengeluh.
“Entahlah, Dek. Wahyu itu sangat bandel sekali. Semenjak ibunya meninggal karena penyakit jantung, ia berhenti dari sekolah, dan seketika itu ia berubah, ia jadi anak yang aneh. Entah apa yang ia rasakan. Ia tidak pernah mengatakan pada saya apa sebabnya ia bersikap begitu. setiap harinya ia diam terus. tak pernah bertegur sapa sama saya.”
“Kenapa tidak dinasehati saja, Pak. Mungkin saja ia bisa mengerti.”
“Berulang kali saya menasehatinya, Dek. Berulang kali saya menanyakan apa sebab ia selalu bersikap begitu, mungkin saya bisa membantunya. Tapi ia tidak pernah mengacuhkan. Ia selalu saja diam setiap saya bertanya.”
Setelah kami selesai mengobrol, lalu bapak wahyu pulang. Tak lama kemudian wahyu datang. Seperti biasa, tanpa sepatah katapun ia berucap. Ia langsung tidur di kamarku, pun tanpa melihat kondisi dan posisi, bagaimana ia seharusnya posisi tidurnya, padahal posisi tidurnya menyulitkan apabila aku mau lewat, tapi ia tidak mengacuhkan sama sekali hal itu. ia langsung saja merebahkan tubuhnya di atas lantai. Aku terheran-heran melihat sikap wahyu.
Wahyu sudah dua hari dua malam tidur di kamarku, biasanya sebelum komputer rusak dia jarang tidur, terkadang sampai dini hari bermain game. Tapi semenjak komputer tersebut mati ia malah banyak tidur, tanpa mengenal waktu. Memang sengaja aku tidak membawa komputer tersebut ke servis reservaso komputer. Tidak lama kemudian ayahnya datang kembali ke kontrakan saya, kali ini ia seperti seorang yang sedang emosi, seperti orang yang habis kesabaran, ia melangkah cepat, serta mata melotot ke segala arah, tanpa salam ia masuk ke dalam kontrakanku dan langsung membangunkan wahyu yang sedang tidur pulas, dengan kasar dia membangunkan.
“Wahyu, Wahyu, bangun, Yu. Ayo pulang….!!” Katanya sembari menendang-nendang tubuh anaknya. Wahyu dengan lesu bangun dari tidurnya.
“Ayo pulang! Kamu ini dibiarkan tambah melunjak, malah gak pulang-pulang kerumah, kamu kira bapakmu ini siapa? Kok sepertinya keberadaanku tidak dianggap olehmu, apa kamu sudah merasa hebat? Di suruh sekolah tidak mau sekolah, malah keluyuran gak jelas, seperti anak hilang. Kamu sudah berani sama saya ya?” Tampak kesabarannya telah habis. Seketika wajah wahyu pun tampak geram, wajah lesunya hilang sama sekali.
“Pak!” Bentak wahyu. “Apa Bapak tidak sadar kenapa saya bersikap seperti ini? Apakah Bapak belum menyadari semua sikap Bapak selama ini? Saya sudah tahu semuanya, Pak. Sekarang Bapak tidak usah mengelak lagi. Sebab kematian ibu saya sudah tahu semuanya. ibu meninggal bukan karena sakit jantung kan? Ibu meninggal karena sudah direncanakan oleh Bapak, kan? Supaya Bapak lebih leluasa bersenang-senang dengan selingkuhan Bapak, Dan sekarang Bapak sudah berhasil, Bapak sudah membunuh ibu, dan sekarang Bapak leluasa membawa wanita itu ke rumah. Semuanya telah Bapak miliki. Dan sekarang Bapak berkoar-koar sok ingin mengatur saya. Tidak usah bersembunyi di balik itu semua, Pak. Saya sudah tahu semuanya.”
Seketika wajah Bapak wahyu merah padam. seperti baru saja ditampar dengan sangat keras. Tatapannya kosong. Tubuhnya gemetar.
Yogyakarta, 2012
Imron Haqiqi
lahir di Lumajang, Jawa Timur. sekarang tinggal di Yogyakarta. Sering bermain-main sambil belajar di Komunitas sastra dan budaya “Masyarakat Bawah Pohon” dan Komunitas “Matapena” Yogyakarta.
sumber gambar: pexels.com