Oleh: Irham Thoriq
Aku selalu merasa nyaman ketika duduk di samping tungku yang
mengeluarkan api dengan nyala samar-samar. Di situ, aku merasakan ketenangan
melebihi ketika berada di kakus. Di samping tungku, aku bisa membayangkan apa
saja yang bisa membuatku senang tanpa harus memikirkan bentakan dari ibuku.
Selama ini hanya tungku yang bisa mendengarkan ceritaku. Kepada apinya,
aku sering menceritakan apa yang aku alami setiap hari. Kadang aku mengalami
nasib sial pagi hari, aku langsung ceritakan sore harinya, ketika kita bertemu
di sudut dapur berdinding bambu yang warnanya sudah menghitam karena kepulan
asap.
Pernah aku menceritakan kepadanya ketika suatu pagi aku baru tiba di
ladang milik tuan tanah di kampung, di tempat yang penuh semak belukar itu,
tiba-tiba melompat seekor ular. Tanpa izin dan berbicara apa-apa, ular
menggigit betisku. ”Kamu tahu api, bagaimana rasanya,” kataku.
Api hanya diam seolah sedang khusyuk mendengarkan ceritaku. Dia tidak
bertanya apa-apa tentang kejadian itu, dia tidak bertanya ular apa yang
menggigitku, bagaimana keadaan kakiku dan lain-lain. Dia hanya diam dan aku
terus-terusan menjejalinya dengan kata-kata. Aku tidak tahu api senang dengan
ceritaku atau dia bosan dengan ocehanku sepanjang sore itu.
Berkali-kali aku digigit ular, kalajengking, dan kadang-kadang anjing
yang memang bertebaran di kebun kentang, tempatku bekerja sebagai buruh tani.
Setiap kali digigit sengatan hewan buas, aku tidak pernah absen bercerita.
Kadang aku niatkan cerita itu kepada api, kadang pula kepada tungku. Aku tidak
tahu apa bedanya bercerita kepada dua benda mati itu.
Bagiku yang tidak punya kekasih, menyendiri di samping tungku setelah
berkebun merupakan sebuah kemewahan. Tapi, teman-teman saya yang kurang ajar sering
kali menyebut kalau aku sedang kesepian. ”Dasar saja kamu tidak punya istri,”
kata Sarji, seorang temanku yang juga buruh tani.
Mendengarkan ucapan temanku yang berkulit dekil, berbau sangit, dan
giginya yang kekuning-kuningan itu, aku ingin marah. Ingin aku tabok mulutnya
yang sedikit merongos itu. Setelahnya aku ingin menendangnya ke sungai.
Menurutku hanya sungai tempat yang layak bagi orang yang tidak bisa menjaga
mulutnya. Di sungai, dia bisa berbicara apa saja sesuka hatinya. Dia bisa
menghina ikan, mengumpat air, dan bercakap-cakap dengan bebatuan yang tidak
punya rasa marah meski mendapat caci maki.
”Sebaiknya kamu tidak perlu ke kebun lagi, kamu di sungai saja,” kataku
pada suatu pagi.
”Di sungai banyak kotoran, termasuk kotoranmu,” jawab dia.
”Itu tempat yang layak bagimu.”
”Kamu saja, rumah saya sudah ada kakusnya.”
”Kamu tidak perlu punya kakus.”
”Kenapa...?”
”Kamu miskin, kotoran dan badanmu hanya pantas mengapung di sungai
dengan kotoran-kotoran orang kampung.”
”Jaga bicaramu, bangsat.”
Pertengkaran kita di kebun tiba-tiba terhenti. Abah Sholeh, tuan tanah
yang mempekerjakan kami pun datang. Pagi itu dia baru turun dari masjid,
kayaknya dia baru salat Duha. Meski gayanya sudah necis seperti kiai, di
tangannya terlihat menenteng dua buah karung. ”Saya ingin mencari kayu bakar,”
kata Abah Sholeh.
Abah Sholeh (kami berdua kadang juga memanggilnya Abah Saleh),
merupakan tuan tanah paling kaya di kampung kami. Saking kayanya, di dapur
milik dia yang luasnya sekitar satu kali lapangan futsal, terdapat tujuh buah
tungku. Kau tahu, di kampung kami, semakin banyak tungku yang dimiliki,
menandakan semakin kaya orang tersebut. Itu adat kami yang hingga saat ini
dipercayai oleh penduduk kampung.
Aku tidak pernah tahu persis kenapa ada kepercayaan seperti itu di
kampung dan kenapa kampung kami banyak sekali memiliki tungku. Hanya saja,
kakekku pada sebelas hari sebelum kematiannya pernah bercerita.
Kata kakekku yang hampir separo hidupnya dihabiskan sebagai buruh tani,
sekitar 65 tahun yang lalu, kampung kami dilanda kekeringan. Ketika itu semua
tanaman kentang milik warga mati. Penduduk juga kesulitan air untuk mandi,
minum, dan buang kotoran. Untuk mandi, warga harus ke sungai kampung milik
tetangga. Sedangkan sungai milik desa kami sudah habis tidak lama setelah
kekeringan melanda. Penduduk desa pun mulai terkena gatal-gatal di sekujur
tubuh. Gatal-gatal itu kadang muncul di
punggung, pipi, dan paling banyak di bokong para perempuan.
Penduduk desa mulai gaduh. Sudah tidak ada lagi warga yang ke lading dan
ke sungai. Mereka juga malas karena harus bertengkar terlebih dahulu dengan
penduduk desa tetangga untuk mendapatkan air. ”Untuk minum, kita saling mencuri
air,” kata kakek saya itu.
Setelah delapan bulan desa tak ada air, pada suatu sore munculah seorang
penyelamat. Warga desa memercayai kalau orang itu adalah juru selamat yang
diturunkan Tuhan. Meski tidak ada yang mengetahui pasti dari mana orang itu,
ada penduduk yang yakin kalau orang ini muncul dari semak belukar di sudut
kampung. ”Ada juga yang yakin dia muncul dari dalam kentang yang sudah layu,”
kata kakek saya yang memang terkenal pandai berdongeng. ”Yang jelas dia juga
membawa tongkat, seperti cerita Nabi yang bisa membelah lautan hanya dengan
tongkat.”
Untuk mendapatkan air, juru selamat ini memerintahkan penduduk kampung
untuk membuat tungku. Menurut dia, tungku tidak hanya bisa menghasilkan api,
tapi juga bisa memperlancar sumber air. Satu bulan setelah menuruti permintaan
juru selamat itu, air muncul dari sumber-sumber di kampung. ”Dan juru selamat
pun mati di kebun kentang satu minggu setelah itu,” kata kakekku.
Hanya cerita itu yang aku dengar tentang asal muasal banyaknya tungku
di kampung. Ketika kakekku hendak melanjutkan ceritanya, aku dipanggil Sarji
untuk segera berangkat berkebun. Lalu saya pamit ke kakek dan meminta dia
melanjutkan ceritanya lain waktu. Tapi, belum sempat kakek saya menceritakan
tuntas tentang kejadian itu, kakek saya meninggal karena serangan angin duduk.
Kepada Sarji, berkali-kali saya ceritakan sepenggal cerita kakek itu.
Tapi Sarji tetaplah Sarji. Dia orang yang begitu menjengkelkan, dia tidak
pernah benar-benar serius mendengarkan ceritaku. Dia hanya mengangguk-angguk
tanpa bertanya kelanjutan ceritanya. Bahkan, kadang Sarji malah menuduh kakek
saya sudah berbohong dan mengarang cerita. ”Mungkin kakekmu habis nonton film,”
kata dia.
”Kakek saya orang jujur,” saya menimpali.
”Kakek saya kiai, tapi tidak pernah bercerita seperti itu.”
”Terserah kamu percaya atau tidak.”
”Memang terserah saya, masak terserah kakekmu.”
”Kurang ajar.”
Setelah kami cekcok, karena sore sudah menghilang tertutup awan dan
hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, kami pun pulang meski ada dua larik tanah
yang belum kami cangkul. Seperti biasa, setelah mandi di sungai, aku menyeduh
kopi dan menghangatkan badan di samping tungku. Kali ini aku menceritakan
pertengkaranku dengan Sarji. Kepada api, aku ingin menyemplungkan Sarji ke
sungai. Tapi aku selalu tidak bisa karena kami tidak pernah mandi berdua. Sarji
sudah punya kamar mandi sendiri.
Keesokan harinya, ketika penduduk kampung sudah mulai memadati jalanan
untuk berangkat berkebun, Sarji mengetuk pintu rumah. Setelah tiga kali
ketukannya tidak mendapat tanggapan, Sarji menendang pintu rumah dengan sedikit
keras. Ibuku kaget, terbangun, lalu membukakan pintu.
”Anakmu mana, Mbak Saripah,” kata Sarji yang ketika itu diantar
istrinya. Kedua tangannya terlihat membawa kardus, dan dicangklongnya sebuah
tas.
”Kamu mau ke mana?”
”Saya hanya ada perlunya dengan anakmu,” Sarji menjawab.
Ibu lalu membangunkanku. Seperti biasa, ibu selalu menetesi air di
pipiku agar aku terbangun. Kau tahu, kebiasaan ibuku membangunkanku dengan
tetesan air ini sudah berlangsung sejak aku berumur lima tahun lebih empat
bulan. ”Kalau tidak seperti ini tidak bangun temanmu itu, Sarji,” suaranya
lirih terdengar sebelum mataku benar-benar berbinar.
Setelah sadar, aku langsung menyalami Sarji. Semenjak aku mengenalnya
empat belas tahun lalu, baru kali ini saya menyalaminya. Sebelumnya, Sarji
tidak pernah mampir ke rumah. Dia hanya meneriakiku dari luar rumah ketika dia
menjemputku untuk berangkat ke kebun.
”Saya mau ikut istriku ke Solo,” kata Sarji.
”Kok mendadak.”
”Sudah lama rencananya, tapi tidak aku ceritakan.”
”Seberapa lama di Solo.”
”Mungkin tiga tahun atau kalau lancar selamanya tinggal di Solo, di
rumah mertua.”
Pagi itu pembicaraanku dan Sarji ada sedikit keharuan. Aku banyak
bertanya kenapa dia memilih ke Solo dan mau kerja apa dia di sana. Sarji pun
hanya menjawab singkat. Dari matanya, saya melihat genangan air yang hendak
terjatuh. Baru kali ini aku tidak ingin menceburkannya ke sungai.
”Saya mau jualan bakso.”
”Bakso Solo..?”
”Bukan, di Solo tidak ada Bakso Solo.”
”Lalu apa?”
”Namanya belum saya buat, intinya bakso.”
Ketika itu, kita berpelukan. Air mataku ingin keluar, tapi air mata
Sarji lebih dulu membasahi pipinya yang dipenuhi banyak jerawat. Di hadapan
ibu, aku tahan tangisanku dan berhasil. ”Bayaranku di Abah Sholeh masih sisa
empat puluh delapan ribu,” kata Sarji setengah berbisik. ”Lalu..?”
”Kamu ambil.”
”Tidak perlu.”
”Itu pemberian pertama dan terakhirku padamu, tak perlu menolak,”
katanya.
”Baiklah.”
Hari itu rupanya hari terakhir pertemuanku dengan Sarji. Tiga tahun
setelah hari menyedihkan itu, dari istrinya saya mendapatkan kabar kalau Sarji
meninggal dunia karena kecelakaan. Saat hendak menyeberangkan rombong bakso,
Sarji ditabrak pikap. Karena tidak punya uang untuk mengantarkan jenazahnya ke
desa, tempat dia dilahirkan di lereng Gunung Bromo, Sarji akhirnya dimakamkan
di Solo. ”Biaya ambulans mahal,” kata istrinya melalui sambungan telepon. ”Biar
keluarganya saja yang ke Solo,” ucapnya. ”Baiklah, maaf saya juga tidak punya
uang ke Solo, salamku kepada Sarji ya,” kali ini aku sesenggukan, tidak bisa
menahan air mata.
Tujuh bulan setelah Sarji meninggal. Aku merantau ke Jakarta karena
diajak seorang teman untuk menjadi buruh bangunan. Dari Jakarta, selalu aku
kirim uang kepada ibu di kampung. Kadang enam bulan sekali, kadang delapan
bulan sekali. Penghasilanku di Jakarta sangatlah besar. Satu bulan di sini,
sama dengan bekerja sebagai buruh tani selama empat bulan.
Penghasilan yang besar itu ternyata tidak terlalu lama. Aku hanya tujuh
tahun bekerja di Jakarta. Aku lalu menjadi pengangguran karena kontraktor yang
mempekerjakanku gulung tikar setelah terjadi krisis. ”Kenapa sudah pulang,”
kata ibuku. ”Sudah tidak ada kerjaan,” jawab saya singkat lalu masuk ke dalam
kamar.
Di rumah, sudah tidak ada lagi tungku yang menyala samar-samar. Hampir
semua rumah di kampung beralih ke kompor gas tiga kilogram. ”Kayu sudah
jarang,” kata ibu. ”Dan ada program tabung gas gratis oleh pemerintah, makanya
tungku dibongkar.”
Ketika aku tanya tentang cerita kakek soal tungku, ibuku hanya
cekikikan. Ibuku dan juga orang-orang kampung rupanya sudah yakin kalau apa
yang diceritakan kakekku hanya bualan belaka. Menurut ibuku, pada sebelas hari
sebelum kematian kakekku, dia sebenarnya hanya mendongeng. ”Kesalahan kamu
adalah kenapa kamu memercayainya,” kata ibuku. ”Sudah satu tahun lebih kita
pakai kompor, air sumber tetap lancar.”
Semenjak itulah, aku yang sudah tidak lagi punya kawan di kampung. Dan
aku merasakan kerinduan yang mendalam. Aku rindu pada api, pada kayu, dan pada
tungku yang menyala samar-samar. Aku juga rindu pada Sarji, pada pertengkaran
kami, dan pada kebun kentang yang sekarang sudah banyak menjadi rumah-rumah.
Sialnya, kerinduan itu tak bisa aku ceritakan karena tungku yang sudah
raib dari kampong ini. Kadang, saya mencoba bercerita kepada sungai. Meski
tidak seindah bercerita kepada tungku, tapi sungai sedikit demi sedikit mulai
terbiasa mendengarkan ceritaku. Tapi, orang yang berseliweran di pinggir sungai
selalu menertawaiku. Pada suatu hari, salah seorang penduduk kampung berbisik.
”Kamu sudah gila ya?”
Cerpen ini terbit pertama kali
di Radar Malang Edisi Minggu (4/10)