credit photo: here |
Oleh: Siti A'isyah
Kereta yang ku
tumpangi semakin mendekati kota kelahiranku. Kenangan-kenangan pahit segera
menyergapku. Jika bukan karena keinginan kuatku untuk segera mengetahui alasan
Sauda mau menerima kembali mantan suaminya, Rowo, tidak ingin rasanya aku
kembali menginjakkan kaki ke kota ini. Tapi Sauda bersikeras tidak mau
memberitahukan alasannya itu lewat telepon ataupun lewat media sosial lain. Dia
harus menyampaikannya langsung kepadaku. Dan satu-satunya jalan adalah aku
harus datang ke rumahnya, di kota kelahiranku.
Melewati tiga
stasiun lagi, kereta ini akan berjalan di rel kota J.
Ingatanku
melayang pada suatu hari ketika kakiku melangkah masuk ke rumah Sauda, seorang
perempuan beranak tiga, yang tertua berumur 7 tahun dan yang bungsu berumur 23
bulan, yang menjadi korban kekerasan suaminya. Kekerasan fisik, psikologis, dan
ekonomi, semua dialaminya. Saat melihatnya, rasa iba dan marah segera memenuhi
dadaku. Badan kurusnya lebam membiru. Anak-anaknya juga kurus tidak terawat.
Rumahnya, yang sebenarnya cukup besar, nyaris kosong tanpa perabotan, hanya
satu set meja kursi lusuh di ruang depan dan tempat tidur dan sebuah lemari
pakaian yang tersisa di kamar.